Satya

438 36 7
                                    

Semalaman tidurnya tidak nyenyak, pertama karna kakinya yang sangat amat sakit, dan kedua karna otaknya dipenuhi oleh kejadian tadi. Anin juga semalaman uring-uringan,bimbang antara mau menelfon Satya atau tidak. Jujur ia ingin sekali meminta maaf karna sudah salah paham tentang semuanya. Tapi ia ragu, ia sudah meminta Satya untuk pergi dari hadapannya, tapi masa iya dia yang meminta Satya kembali? Gengsi dong!

Amira juga sudah pergi sejak tadi pagi, katanya mau ke Jakarta karna harus ada yang diurus apalagi kalau bukan karna klien yang memesan baju kepadanya. Kadang Anin ingin sekali ikut pergi bersama Amira, hitung-hitung sebagai refreshing karna penat selama seminggu disekolah. Tapi waktunya tidak pernah pas dan Anin mengurungkan itu semua.

Hujan belum juga berhenti sejak semalam, Anin mengambil jaket yang tergantung dibelakang pintu. Warna putih tidak bergambar. Dari awal ia pakai, ia belum pernah mencucinya. Dan ketika sekarang dipakai wanginya masih sama. Anin tersenyum, mengingat kalau jaket yang sekarang melekat ditubuhnya adalah milik Satya. Satya yang menyuruhnya untuk menyimpan jaket ini, entah apa alasannya. Dan Anin hanya menerima.

Ia berjalan, kakinya sudah bisa sedikit digerakan dan untuk berjalan. Namun masih kaku jika ia melangkah cepat. Anin membuka tirai berwarna putih, dilihatnya rintik hujan dari balik kaca bening ini.

Ditangannya sedari tadi memegang ponsel, menunggu seseorang menelfon atau hanya sekedar menanyakan kabar dirinya. Namun sejak semalam yang ditunggu tidak juga menelfon atau memberi kabar. Dan Anin juga tidak berani untuk memberi kabar duluan.

Jangan pernah deket sama Bima

Jangan pernah berduaan sama Bima

Jangan pernah nangis didepan Bima, karna gue gak rela Bima yang hapus air mata lo

Jangan. Jangan. Dan jangan.

Perkataan itu selalu muncul dikepalanya, berputar terus menerus bagai kaset rusak yang sedang si stel. Wajah marah Satya, bentakan semuanya masih jelas tergambar diingatannya. Bagaimana bisa ia lupa dalam semalaman? Walaupun sekarang sudah lebih tenang karna ucapan Adinda. Entah yang diucapkan Adinda itu benar atau hanya untuk penenang hati Anin.

Ponselnya bergetar, Anin segera mengalihkan pandangannya dari hujan. Melihat nama yang tertera diponselnya, sedikit lesu karna ternyata bukan Satya yang menelfonnya.

"angkat ga ya?" Anin menimbang-nimbang dalam hati, mau mengangkatnya tapi Anin ragu. Ragu kalau nanti orang itu kembali menaruh harapan pada Anin.

Anin menghembuskan napasnya perlahan sebelum mengangkat telfon itu. Lalu ia menggeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya.

"Halo bim"

Orang disebrang sana hanya diam. Tidak menjawab sapaan Anin, Anin menautkan alisnya, aneh karna sikap Bima, apalagi Bima sudah menelfon dipagi hari seperti ini.

"Bim?" Ucap Anin—lagi.

"Gimana keadaan lo?" Bima bertanya to the point, lagi-lagi membuat Anin bingung.

"Udah baikan kok, lagian cuma kekilir doang"

"sibuk gak?"

"kenapa?"

"gue mau kerumah lo, ada tugas yang harus dikerjain"

Jangan pernah deket, berduaan dan nangis didepan Bima!!!

Anin bergeming ditempat, tidak bersuara dan tidak bernapas karna napasnya seperti tercekat ditenggorokan dalam beberapa detik, wajah Satya seperti muncul dihadapannya sekarang. Tidak... Anin tidak mungkin melanggar semua ucapa Satya. Apalagi Anin mengingat kesalah pahamannya kemarin.

DEJA'VU [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang