06. Rencana Tuhan untuk Kita

14.3K 820 1
                                    

Hai, hai!

Jangan lupa vote, komen dan tandai typo, ya.

SELAMAT MEMBACA
■■■

Setelah mengetahui semuanya, Nindia dan Nanzia menuju rumah yang selama ini Nindia tinggal dengan mengendarai mobil Nanzia.Selama perjalanan itu diisi oleh keduanya canda dan tawa. Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah Nindia.

"Bibi! Bibi!" panggil Nindia penuh semangat.

Nindia membuka pintu kamar bibinya dengan cepat, terlihat bibi tengah terbaring. Tetapi entah mengapa perasaan Nindia menjadi tidak enak.

"Bibi? Bibi bangun, coba lihat siapa yang datang bersamaku." Nindia menyentuh lengan bibi.
"Bibi ... Bibi kok dingin?" tanya Nindia ragu

Mendengar itu Nanzia dengan segera mengecek keadaan bibi. "A-aku pikir ..."

"Bagaimana Zia? Bibi tidur, ya?" tanya Nindia dengan perasaan campur aduk.

"Kita bawa ke rumah sakit."

Dengan susah payah, mereka berdua mengangkat Bibi menuju mobil Nanzia. Nanzia mengemudikan mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Hari sudah malam dan ia belum menghubungi mama dan papa. Sesampainya di rumah sakit dokter segera memeriksa kondisi Bibi.

"Periksa dengan benar!" tegas Nanzia dengan aura intimidasi yang keluar

Nindia sudah menangis, sementara ia tengah menghubungi Mamanya.

"Halo."

"Aku di rumah sakit," kata Nanzia tanpa merasa perlu berbasa-basi.

"Astaga, Sayang. Kamu kenapa? Apanya yang sakit? Kamu baik-baik saja, 'kan?" Terdengar suara Rahayu yang cemas

"Aku baik."

"Terus kenapa kamu di rumah sakit? Siapa yang sakit? Di rumah sakit mana? Mama akan kesana."

Nanzia menatap Nindia sebentar sebelum menjawab, "Rumah Sakit Anugerah."

"Oke, Mama ke sana sekarang."

Setelah sambungan tertutup, Nanzia memfokuskan netranya pada kembarannya. Tanpa ragu ia menarik Nindia ke dalam pelukannya.

"Aku tidak bisa bilang apa-apa. Tapi percayalah, rencana Tuhan sangat indah," ujar Nanzia dengan suara pelan.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan itu.

"Bagaimana kondisi Bibi saya, Dok?" tanya Nindia cepat

"Maafkan kami, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan ternyata lebih menyayangi beliau. Ibu Suciani sudah kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa."

Nindia hampir saja roboh jika Nanzia tidak sigap menahannya.

"Nia ...," panggil Nanzia pelan

"Zia, dokter kok lucu?" tanya Nindia dengan kekehan hambar. Air mata sudah membasahi wajahnya. "Kata mereka bibi udah kembali ke pangkuan Tuhan atau apalah itu. Kok mereka melawak, ya? Ini rumah sakit atau panggung drama, sih!"

"Jangan seperti ini," pinta Nanzia lirih

Nindia menggeleng. "Tuhan gimana, sih? Kata kamu rencana Tuhan sangat indah. Aku baru saja ketemu sama kamu. Tapi kenapa Tuhan malah ambil bibi dari aku setelah Tuhan datangin kamu?" Nindia terus saja berbicara dengan air mata diwajahnya.

"Berhenti ngomong seperti ini, Nia." Tanpa bisa ditahan lagi, air mata Nanzia turun

"Aku belum siap," gumam Nindia pelan.

Nanzia mencoba menguatkan kembarannya. "Ada aku. Kita saling menguatkan. Maka dari itu, berhenti nangis seperti ini. Bibi akan marah jika tahu kamu nangisin dia."

"Aku ingin ketemu bibi, Zia. Antar aku ke sana," pinta Nindia.

Nanzia mengangguk. Mereka pun masuk, melihat jenazah bibi. Tangis Nindia tak bisa ditahan lagi.

"Bi, lihat aku datang sama siapa. Ini Nanzia, kembaran aku. Cantik kayak aku, 'kan?." Nindia terkekeh penuh paksaan. "Ternyata firasat Bibi benar. Baru kemarin Bibi bilang mereka akan datang dan lihat? Hari ini Zia datang nemuin aku." Nindia menggigit bibir bawahnya.
"Tapi kok malah Bibi yang pergi?" tanya Nindia dengan penuh kesedihan.

"Nia..." Nanzia memanggil Nindia seolah mengisyaratkan untuk tidak seperti ini.

"Aku sayang banget sama Bibi. Kata Bibi aku nggak boleh sayang banget, kata Bibi sayang aku yang utama untuk mama dan papa. Iya kok, aku patuhi."

Nanzia tidak bisa membendung kesedihannya. Mendengar bagaimana sosok bibi yang Nindia tangisi mengatakan untuk tidak menyayanginya lebih dari rasa sayang kepada mama dan papa membuat ia terharu.

"Bibi bilang papa adalah sosok yang hebat dan pasti sosok yang hebat akan bertemu dengan orang yang baik hati, sehingga anak-anak mereka akan menjadi anak yang pintar, baik, dan hebat juga. Aku percaya itu."

Tangis Nanzia kembali pecah mendengar bagaimana Nindia mengatakan hal-hal yang membuat ia mampu merasakan apa yang Nindia rasakan.

"Bibi harus tahu, aku bahagia bisa merasakan kehangatan dan kasih sayang yang bibi kasih. Terima kasih untuk segalanya. Aku sayang sama Bibi, tapi benar kata Zia, Tuhan udah nyiapin rencana yang lebih indah untuk kita. Tuhan pasti sayang banget sama Bibi hingga Tuhan cepat panggil Bibi. Aku akan selalu mendoakanmu." Nindia mundur beberapa langkah. "Kamu mau ngomong sesuatu untuk Bibi, Zia?" tanya Nindia pada saudaranya itu

Nanzia maju mendekati sosok yang kini terbaring kaku. "Halo, Bi. Aku Nanzia. Kembarannya Nindia." Nanzia terdiam sejenak. "Bagaimana sifat Nia selama ini, Bi? Apakah dia nakal dan keras kepala? Ah, pasti dia sangat merepotkan."

Terasa Nindia memukul pelan pundak Nanzia hingga menimbulkan kekehan ringan dari Nanzia. "Bibi berhasil merawat Nindia dengan baik, untuk itu terima kasih. Lihat saja dia tumbuh menjadi sosok yang sangat cantik, walau kita kembar tapi rupanya dia lebih cantik dariku."

Nanzia berhenti sejenak "Aku tidak pandai berbicara, tapi aku ingin mengucapkan terima kasih telah menyelamatkan Nia dari kebakaran gedung itu. Terima kasih sudah menerima permintaan papa, maaf udah merepotkanmu selama ini. Aku percaya Tuhan sudah menyiapkan surga untukmu."

"Nak..." Suara bergetar itu membuat Nanzia dan Nindia menoleh secara bersamaan. "Oh Tuhan!" seru orang itu

"Mama," panggil Nanzia membuat Nindia menoleh padanya.

"Mama?" tanya Nindia kaget.

Nanzia mengangguk, membenarkan. "Mama kita, Nia," ujar Nanzia pada saudaranya itu.

Rahayu berjalan perlahan ke arah Nindia. "Nia?" panggil Rahayu sambil menahan tangisnya. "Oh Tuhan!" serunya ketika sudah berada di depan Nindia. "Biarkan Mama memelukmu, Sayang, agar Mama tahu ini bukan mimpi."

Nanzia memberikan senyumnya kepada Nindia yang menatapnya ragu. Dengan langkah pelan Nindia maju menuju Mamanya. Rahayu mendekap erat tubuh Nindia dengan air mata yang mengalir.

"Nindiaku, Nia kecilku," gumam Rahayu dengan perasaan bahagia yang begitu besar. Rasa rindu terbayarkan.

"Mama ..." Nindia berseru pelan

"Iya, Sayang. Ini Mama. Ini Mama, Sayang." Rahayu mencium wajah Nindia bertubi-tubi dan kembali memeluknya "Maaf sudah membuatmu menunggu begitu lama dan terima kasih sudah tumbuh dengan begitu sehat."

Nanzia menatap keduanya dengan penuh rasa haru. "Selamat datang kembali di rumah kita, Nia."

■■■
To be continue~

Ketika Yang Hilang Kembali✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang