35. Marah

8.7K 546 7
                                    

Hai, hai!

Jangan lupa vote dan komen, ya. Tandai typo juga.

SELAMAT MEMBACA
■■■

"Menyakiti siswi di gedung belakang sekolah dan menyewa tiga orang siswa untuk memperkosanya, menggunakan kekerasan fisik, terlebih orang itu adalah anak dari keluarga Pramono!" Manik mata Laura terbelalak kaget. "Kemarin menyewa tiga orang pria lagi untuk memperkosa kembarannya. Apakah kamu memang sebodoh ini?"

"A-aku ...."

"Dengar!" Suara Toni begitu tajam membuat Laura menunduk dengan tubuh yang kini sudah sangat pucat dan bergetar takut. "Daddy nggak peduli dengan apapun yang kamu lakukan di luar sana selama itu membuatmu senang."

Laura tahu Toni akan selalu begitu. Mendukung apapun yang ia lakukan selagi itu membuat dia senang dan tidak merugikan mereka.

"Tapi kali ini, kamu sudah salah memilih lawan."

Sontak saja Laura mendongkak meminta penjelasan.

"Kedua anak kembar itu adalah putri dari keluarga Pramono. Tentu saja kamu tahu jika Pramono adalah lemilik perusahaan nomor 1 di Indonesia dan saat ini Wiston tengah menjalin kerja sama dengan mereka." Ucapan Toni benar-benar menamparnya. "Daddy tidak pernah melibatkan kamu dengan urusan perusahaan kita, tapi tidak dengan saat ini, kamu sudah melakukan kesalahan besar."

"Maksud Daddy?"

"Wiston tengah dalam keadaan yang cukup buruk. Ada beberapa hal yang terjadi di perusahaan dan Daddy tidak ingin menjelaskannya. Bambang Hermawan tenyata bersahabat dekat dengan Hendra Pramono sehingga mengenalkan kami. Dengan suka rela Hendra memberikan suntikan dana untuk perusahaan kita hingga membuat keadaan perusahaan bisa diatasi, untuk saat ini," jelas Toni membuat Laura membeku.

"Apa maksud Daddy dengan kata untuk saat ini?" tanya gadis itu dengan wajah pucat. Ketakutan menghampirinya.

"Jika Hendra menarik semua dana yang ia salurkan apa yang akan terjadi?" tanya Toni. "Kita bisa bangkrut! Dan lebih parahnya lagi Wiston akan terkena denda! Bisa-bisa kita akan menjadi gelandangan jika hal itu terjadi." Suara Toni naik setengah oktaf hingga membuat Laura terbelalak kaget. "Dampak dari pemutusan kerja sama perusahaan itu tidak akan berpengaruh kepada Pramono, namun kepada Wiston."

Laura terdiam mendengar hal itu. Tidak, ini tidak bisa terjadi. Bisa-bisa ia akan ditertawakan oleh si kembar licik itu.

"Bisa kamu pikirkan apa yang akan Daddy lakukan jika hal bodoh yang kamu lakukan kepada kedua anak Pramono itu terjadi padamu?" Bagai ditampar keras Laura mematung di tempat. Kini ia tahu apa yang membuat Daddy-nya semarah ini.

"Mereka bisa saja menyiksa kita, mengenalkan neraka dunia kepada kita sebelum akhirnya mengirim kita ke neraka yang sebenarnya." Ucapan dingin nan menusuk yang dilontarkan Toni membuat ia takut setengah mati. "Kekuasaan Pramono begitu besar jadi Daddy ingatkan padamu untuk tidak melakukan hal bodoh ini sebelum Pramono membuatmu membusuk di neraka!"

"Ta-tapi Daddy!"

"Tidak ada tapi-tapi Laura! Jika kamu memang benar-benar menginginkan neraka, silahkan lakukan hal gilamu itu. Tapi jangan pernah mengharapkan belas kasih dariku sekalipun kau adalah anakku!" Toni menatapnya tajam dengan ucapan menusuknya.

Tidak! Ini tidak bisa terjadi.

"Aku menginginkan Fajar, Dad! Kau tahu itu!" teriak Laura tajam sambil menatap ayahnya menantang.

"Jangan gila!" Toni menatap Laura remeh.
"Kau dan obsesimu itulah yang akan mencelakakanmu. Cukup sudah mommy-mu mengabulkan semua keinginanmu hingga membuatmu bertunangan dengan putra tunggal dari Bambang Hermawan. Jangan libatkan istriku terlalu jauh atau aku sendiri yang akan membuatkan neraka untukmu!"

Laura menatap ayahnya tidak percaya. Bagaimana bisa seorang ayah berbicara begitu kejam kepada anaknya? Ke mana ayahnya yang selalu mengabulkan keinginannya?

"Aku ingatkan sekali lagi. Jaga sikapmu! Aku tidak mau istriku menangisi sikap cerobohmu ketika Hendra mengirimu ke neraka," tegas Toni tajam. "Bahkan sekalipun aku adalah ayahmu, tapi aku masih memiliki kewarasan untuk tidak menentang keluarga Pramono."

Toni meninggalkan Laura yang terdiam mematung. Ini ia lakukan untuk anak gadisnya. Ia tidak mau melihat Lauranya tersakiti.

Tidak.

Tetapi mau bagaimana lagi?

Lebih baik ia yang menyakiti Laura dan memberikan peringatan kepadanya. Sebab, bukan hal yang mustahil jika Pramono akan bertindak gila kepada anaknya. Membusukkan Laura di Jerman atau yang lebih parahnya lagi ke pelosok Afrika adalah hal yang mudah, itu bahkan masih manusiawi.

Namun, bagaimana jika Hendra berbuat keji seperti menjual Laura kepada lelaki hidung belang atau membuat Laura menjadi seorang pelacur? Bahkan Toni tidak bisa membayangkan hal yang lebih kejam dari pada itu.

"Satu lagi." Toni menghentikan langkahnya. "Semua fasilitasmu Daddy sita. Tidak ada kartu kredit, ATM, atau jenis kartu-kartu lain, tidak ada mobil, tidak ada laptop, dan tidak ada jam bebas lagi."

"DAD!"

"Hanya ponsel yang Daddy bebaskan untukmu." Nada tegas dan tak main-main terdengar dari mulut Toni. "Pulang sekolah langsung ke rumah, uang jajanmu akan Daddy potong, dan kamu akan menerimanya saat sarapan pagi."

"Daddy!"

"Menerimanya setiap hari dengan jumlah cukup untuk makan siang dan berbelanja beberapa snack untuk cemilan. Tidak ada uang tambahan atau yang lainnya."

"Ta-tapi ...."

"Tidak ada bantahan!"

Setelah punggung Toni tidak kelihatan lagi, Laura dengan cepat berteriak histeris. Tanpa fasilitas dan uang adalah hal terburuk yang ia miliki.

Pramono benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Kemarin anak-anaknya, sekarang senior Pramono yang mengganggunya.

Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan.

Laura akan membuat hidup mereka sengsara. Dan hal pertama yang akan ia lakukan adalah menyingkirkan Si Sulung Pramono, Nanzia.

Jika adu fisik membuat Nanzia tersenyum menang, maka tidak ada pilihan lain lagi. Tidak mungkin Laura mengirim beberapa anak buahnya untuk membuat keributan dengan Nanzia. Itu sama saja menimbulkan masalah baru dan ia tidak mau membusuk di Jerman seperti apa yang Daddy-nya katakan.

Laura berpikir keras, berjalan mondar-mandir, apa yang bisa membuat Nanzia jera. Dia begitu sulit untuk di sentuh. Namun, sedetik kemudian langkahnya terhenti, ide cerdas muncul di otaknya.

Benar, itu adalah pilihan terbaik.

Segera ia kembali ke dalam kamarnya, mencari keberadaan ponsel kesayangannya dan menghubungi seseorang.

Nada sambung terdengar sebelum seseorang menyahut.

"Hallo."

"Gue punya pekerjaan baru untuk lo!"

Lawan bicaranya terdiam beberapa saat, sebelum menyahut.

"Jika lo suruh gue buat berurusan dengan Nanzia Violina Pramono lagi, sorry gue masih sayang nyawa."

Laura berdecak tak suka mendengar apa yang lawan bicaranya katakan. "Lembek lo! Banci! Baru aja di pukul gitu udah nyerah. Lepas kelelakian lo itu! Betina lo, kampret!"

"Bangsat lo! Apa mau lo, hah?"

Seringai di wajah Laura tercetak jelas, memang lawan bicaranya ini mudah tersulut emosi, dan itulah yang membuat Laura menyukai lelaki itu.

Ia suka dengan bagaimana emosi pria itu meledak. Seperti saat ini. Itulah sebabnya Laura senang untuk memperkerjakan pria itu.

"Ini yang gue suka dari lo, Rul." Laura terkekeh. "Tenang, lo nggak akan babak belur kayak kemarin. Ini pekerjaan mudah."

"Ck. Cepat katakan apa yang lo mau!"

"Hey, sabarlah." Sekali lagi Laura terkekeh pelan. "Jadi, tugas lo adalah ...."

■■■
To be continue~

Ketika Yang Hilang Kembali✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang