19. Nania

9.1K 638 8
                                    

Hai, hai!

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komen, ya! Tandai typo juga!

SELAMAT MEMBACA
■■■

"Jika lo ingin dekatin Nia, maka lo harus ngilangin nyawa gue dulu."

Fajar menatap Nanzia dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Ada sebersik rasa bersalah dan perasaan mengganjal yang ia rasakan. Punggung gadis itu semakin menjauh, semakin mengecil dan tanpa ia sadari, perasaan itu semakin menggila hingga berhasil membuat Fajar menghela napas lelah.

"Lo gila, Jar!" Bagas menepung punggung Fajar sedikit keras membuat lelaki itu kembali ke alam sadarnya.

"Apaan, sih?" Fajar berjalan menjauhi Bagas yang kini mengejarnya.

"Gue serius. Otak lo emang ada yang salah." Ucapan Bagas membuat Fajar menghentikan langkahnya dan menatap sahabat tak diakuinya itu dengan tatapan kesal. "Gue bener. Lo emang idiot!"

"Lo sahabat gue bukan, sih?"

Bagas menghela napas. "Justru karena gue sahabat terbaik lo makanya gue kasih tahu bahwa lo salah. Sahabat yang baik itu nusuknya dari depan, bukan dari belakang, Kawan." Pria itu menepuk pundak Fajar.

Fajar diam. Tak membalas ucapan Bagas. Melihat keterdiaman Fajar, pria itu kembali berujar, "Lo harus tahu, nggak seharusnya lo ngomong gitu ke Nanzia." Nada suara Bagas menjadi serius hingga membuat Fajar menatapnya. "Gue tahu nggak seharusnya gue ngomong gini ke lo karena ini adalah masalah antara lo dan Nanzia. Tapi lo harus ingat, bagaimana pun posisi lo hanya tamu di dalam hidupnya Nanzia dan Nindia. Lo nggak ada hak buat ngatur gimana sikap Nanzia ke Nindia atau sebaliknya."

Bagas ingin membuat sahabatnya itu membuka matanya dan menyadari bahwa ucapannya tadi salah. "Lo nggak tahu apa saja yang udah Nanzia dan Nindia alami selama ini, jadi lo nggak punya hak buat nge-judge sikap Nanzia. Bisa saja, sikap Nanzia adalah murni naluri seorang saudara. Terlebih mereka kembar, ikatan dan kepekaan mereka lebih kerasa. Wajar jika Nanzia melindungi Nindia dari lo, karena nyatanya selama ini lo emang udah ngelakuin hal yang 'kurang baik' ke Nindia. Maka jangan tanya kenapa lagi jika Nanzia marah banget ama lo."

Bagas menatap Fajar dengan tatapan bersalah. "Maaf saja, tapi gue akan ngelakuin hal yang sama jika itu terjadi ke adik gue, Jar. Semua kakak di dunia ini nggak mau adiknya dilukai orang lain. Sebab, bagi seorang kakak, hanya merekalah yang bisa melukai adiknya. Orang lain nggak boleh." Setelah berujar demikian Bagas meninggalkan Fajar bersama pikirannya.

Hilang sudah keinginan Fajar untuk belajar. Dengan pikiran kacau seperti ini tidak akan membuat ia fokus belajar, terlebih teman sebangkunya adalah orang yang membuat pikirannya kacau.

●●●

Nanzia menatap langit dari rooftop sekolah. Ia tahu bahwa pelajaran sudah di mulai sekitar 20 menit yang lalu, tapi mood-nya hancur akibat insiden di kantin tadi. Ingat bahwa ia sebangku dengan Fajar? Maka jangan tanya kenapa lagi jika kini ia hanya menghabiskan sisa jam sekolah di rooftop yang memang sangat jarang di kunjungi oleh para siswa-siswi.

"Bisa nggak sih lo nggak ngekang Nindia? Lo bertingkah seolah-olah Nindia adalah orang bodoh yang nggak tahu apa-apa. Dia udah besar dan lo memperlakukan dia layaknya bayi yang baru belajar berjalan! Sadar nggak sih lo hanya ngekang hidup dia?"

Ucapan Fajar sangat menusuk hatinya. Seolah menamparnya dari kenyataan bahwa apa yang ia lakukan selama ini menyiksa Nindia. Apa Nindia juga berfikir hal yang sama? Apa Nindia terganggu dengan sikapnya selama ini? Apa Nindia tidak nyaman perlakuannya ini?

"Apa gue seburuk itu?" tanya Nanzia pada dirinya sendiri.

Nanzia sayang. Dia khawatir dan takut kehilangan lagi. Tetapi kalau ternyata apa yang ia lakukan selama ini tidak pernah dianggap dan malah membuat Nindia tidak nyaman. Maka Nanzia akan tahu diri. Dia akan menghilangkan segala kekhawatirannya itu karena ia lakukan itu hanya untuk Nindia. Semuanya karena Nindia.

"Ehem!"

Sebuah suara menyita perhatian Nanzia. Sontak saja ia berbalik dan melihat siapa pemilik suara itu. Nanzia menyipitkan matanya. Ia tidak tahu kenal lelaki ini, yang ia tahu bahwa lelaki itu teman dekatnya Fajar. Merasa tidak memiliki urusan dengan lelaki itu, Nanzia kembali berbalik. Mengacuhkan si dia yang entah siapa namanya.

"Benar kata anak-anak ternyata jika lo orang yang dingin," ujar Bagas "Gue Bagas." Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Tangannya terulur untuk berkenalan.

Nanzia menatapnya sekilas. Dia hanya membalas uluran tangan itu tanpa menyebutkan siapa namanya.

"Siapa nama lo?" tanya Bagas tanpa melepaskan tangan Nanzia. "Gue nggak tahu nama lo siapa."

"Jangan berbohong," ujar Nanzia tiba-tiba. Tentu saja ucapannya itu membuat tidak menjawab pertanyaan Bagas. Nanzia melepaskan tangannya dari genggaman Bagas. Melihat keterdiaman pria itu Nanzia berujar, "Lo nggak pintar bohong."

"Kalau gitu gantian." Ucapan Bagas menarik perhatian Nanzia.

"Hm?"

"Jangan berbohong," balas Bagas. "Bohong lo mudah ketebak."

Haruskah Nanzia bertanya tentang dirinya yang mematung hanya karena ucapan Bagas?

"Kalau lo marah, bilang. Kalau lo kecewa, bilang. Jangan bersembunyi dibalik sifat dingin lo itu. Lo manusia, punya hati dan punya perasaan. Lo bukan robot yang hidup tanpa akal dan rasa." Bagas berujar begitu lembut.

"Lo nggak tahu apa-apa," ujar Nanzia datar.

"Iya, gue emang nggak tahu apa-apa. Tapi, sikap lo yang bilang bahwa lo ada apa-apa." Bagas kini menatap sepenuhnya ke arah Nanzia. "Lo tersinggung akibat ucapan Fajar?" tanya pria itu.

Nanzia menatap Bagas datar dan masih diam, tak membalas. Menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.

"Gue aja yang dengar ucapan Fajar kesal, apalagi lo yang memang ucapan itu buat lo." Bagas memberi tatapan menenangkan. "Gue nggak bisa bilang dia salah, karena ucapannya berusaha membuat lo untuk ngerti dia. Gue juga nggak bisa bilang kalau dia benar, karena cara dia bilang ke elo itu salah."

"Gue tahu," balas Nanzia seadanya.

Bagas tersenyum. "Mungkin lo nggak tahu apa yang ada di antara Nindia dan Fajar."

"Itu yang ingin gue tanya." ujar Nanzia menimbulkan satu anggukan paham dari pria yang ada di depannya.

"Nindia itu cinta pertama Fajar," ujar Bagas. "Nindia itu Nanianya Fajar."

Ucapan itu membuat Nanzia tersentak. Gadis itu menatap Bagas sepenuhnya. Jantungnya bergemuruh hebat.

"Kata Fajar, dia pernah berjanji ke Nindia. Ya, jenis janji masa kecil," jelas Bagas. "Awalnya dia nggak tahu kalau Nindia adalah orang yang ia tunggu selama ini, untung saja sepupunya mampu menjawab pertanyaan itu." Bagas terkekeh kecil. "Walau sebenarnya Fajar nggak nanya secara jelas, sih. Tapi dia udah nyimpulin bahwa kembaran lo itu adalah Nanianya. Karena bagi sepupu Fajar itu, Nania adalah prioritas utamanya. Lo tahu, mereka sahabat sejak kecil."

Tubuh Nanzia mendadak kaku. Ada yang salah di sini. Fajar keliru. Nanzia ingin sekali berujar demikian ke Bagas. Tetapi suaranya seolah hilang.

"Nan, bener nggak sih kalau nama kecil Nindia itu Nania?" Setelah bertanya seperti itu, Bagas terdiam. Menyadari sesuatu.

Nanzia tidak menjawab. Gadis itu memalingkan wajahnya yang membuat Bagas terdiam dengan mata terbelalak kaget. Menyadari satu hal yang telah terlewatkan.

"Nan?"

■■■
To be continue~

Ketika Yang Hilang Kembali✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang