41. Pertemuan Kita

9.7K 591 20
                                    

10 tahun kemudian

Nanzia keluar dari kamarnya saat mendengar bunyi bel rumah minimalisnya.

Ini sudah tahun ke 7 sejak dia memutuskan untuk memilih tinggal seorang diri di sebuah rumah minimalis yang jaraknya cukup dekat dengan Universitas tempatnya bekerja.

Nanzia seorang dosen yang sangat terkenal di usia mudanya.

Tepat ketika Nanzia membuka pintu rumahnya, seorang anak berusia 5 tahun langsung berhamburan ke pelukannya.

"Mama!"

Nanzia tersenyum mendengar panggilan itu. Sebagai bonus dari sikap manis anak kecil tersebut, Nanzia mencium gemas pipi kanan bocah dalam dekapannya.

"Maafkan aku Zia, Naufal merengek ingin pergi padamu. Salahkan papanya yang berjanji akan mengantarnya padamu hari ini."

Nanzia tersenyum mendengar itu. Ini memang sudah biasa terjadi dan Nanzia tidak masalah dengan hal itu. Terlihat Nindia datang dengan wajah penuh penyesalan sedangkan di sampingnya Ilham hanya melempar cengiran lebarnya.

"Tidak masalah Ni, aku senang Naufal datang. Kebetulan hari ini aku tidak ada jadwal mengajar."

"Lihat, Sayang. Nanzia tidak keberatan dengan kedatangan Naufal."

Sedangkan Nindia memandang sinis kepada pria yang berbicara itu. Tanpa memikirkan Ilham yang tengah tersenyun lebar, Nindia masuk ke dalam rumah Nanzia dan segera menuju dapur.

"Zia sudah makan?" tanya Nindia. "Aku mampir ke supermarket tadi dan membeli beberapa keperluan dapur. Hitung-hitung balasan karena kamu mau menjaga Naufal."

Mendengar ucapan kembarannya, Nanzia malah tertawa pelan. Apakah adiknya itu lupa kalau dia adalah dosen yang memiliki gaji tidak sedikit?

"Astaga, ada apa denganmu? Aku bisa membelinya nanti."

Ilham duduk di sofa sambil menghidupkan TV, seraya memangku Naufal yang terlihat mengikuti pose duduk papanya.

"Dia merasa selalu merepotkanmu karena menitipkan Naufal selagi dia dan aku bekerja," ujar Ilham membuat Nindia semakin kesal.

"Berhentilah berbicara, Il. Aku sedang tidak ingin mendengar suaramu!" kata istrinya itu dengan nada galak.

Nanzia terkekeh mendengar ucapan Nindia. Bagaimana bisa kembarannya yang manis menjadi galak seperti ini?

"Nia, aku tidak keberatan dengan kedatangan Naufal. Aku malah senang." Nanzia tersenyum geli kepada Nindia yang kini menatapnya penuh permintaan maaf. "Hentikan itu, tidakkah kau kasihan kepada suamimu?"

Mendengar kata suami membuat Nindia kembali mendelik kesal kepada sosok yang melempar senyum menggoda padanya.

"Maafkan aku harus merepotkanmu hari ini," ujar Nindia sekali lagi.

Nanzia mengangguk. "Hentikan itu. Naufal adalah anak yang baik. Dia tidak merepotkanku, Nia."

"Baiklah, aku tidak bisa lama-lama. Butik sangat ramai sejak dua hari lalu dan Ilham harus segera ke kantor. Aku titip Naufal, ya?" jelas kembaran Nanzia. "Dia masuk sekolah pukul 8, jangan biarkan dia makan es krim berlebihan. Aku tahu kamu selalu memanjakannya dan jangan tergoda dengan bujuk rayu Naufal. Dia sudah menunjukkan tanda-tanda genit seperti papanya itu."

"Hei!" protes Ilham mendengar ucapan istrinya.

"Aku benar Il, Nanzia sendiri pun saksi bagaimana genitnya kamu kepada wanita-wanitamu sejak masa SMP!" kata Nindia tidak merasa bersalah.

Ucapan tajam sang istri membuat Ilham menghela napas pasra. "Kita sudah pernah membahas ini, Sayang, dan kenapa kamu sangat sensitif belakangan ini? Yang aku tahu hari ini bukan jadwal menstruasimu."

Ketika Yang Hilang Kembali✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang