39. Dampak dari Segalanya

9.6K 596 9
                                    

Hai, hai!

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komen, ya. Tandai typo juga.

SELAMAT MEMBACA
■■■

Sebenarnya Nindia belum ingin masuk sekolah hari ini. Walau bagaimana pun cemburunya Nindia kepada kakaknya itu, tetap saja Nanzia selalu menomorsatukan dia di atas apapun.

Bahkan Nanzia rela menjadi sasaran kemarahan Laura ataupun Fajar hanya untuk melindunginya dari segala ide licik mereka, terlebih Laura.

"Ngusik Nia, ngusik gue juga!"

Selalu kalimat itu yang Nanzia katakan pada setiap orang yang akan mengganggunya. Seharusnya Nindia bersyukur memiliki sosok seperti itu, bukan? Aleta saja sampai iri kepadanya.

"Ini bayaran lo! Kerja lo bagus!"

Suara itu membuat Nindia menghentikan langkahnya yang saat ini tengah berniat keluar dari toilet siswi.

Kepala Nindia terulur untuk melihat siapa itu. Di sana terlihat Laura yang entah dengan siapa, yang pasti itu adalah seorang siswa, melihat celana abu-abu yang dikenakan oleh lelaki itu. Posisi Laki-laki itu membelakanginya dan hal itu pula yang membuat Nindia dapat melihat jelas wajah Laura.

Entah dorongan dari mana hingga membuat Nindia mengeluarkan ponselnya untuk merekam mereka.

"Segini doang? Gue harus ekstra hati-hati ketika mutusin rem mobil Nanzia!"

Sahutan itu membuat kedua mata Nindia terbelalak kaget. Bagaimana bisa?

"Cih, ini tambahan lo! Kalau bukan karena lo berhasil buat tuh Iblis masuk rumah sakit, gue nggak akan ngasih lo bonus."

Setelah mengatakan itu, Laura pergi meninggalkan orang itu dan saat itu pula Nindia menghentikan rekamannya seraya berjalan masuk kembali ke dalam bilik toilet.

Ia tidak mau ada orang yang mengetahuinya.

Di dalam bilik itu, Nindia segera mencari nomor papanya dan mengirim papanya pesan.

●●●
Seperti yang Hendra katakan, tidak ada yang bisa menyentuh anaknya. Tetapi rupanya ancaman yang Hendra keluarkan kepada keluarga Wiston tidak mereka turuti dengan benar.

Anak keluarga Wiston itu gila!

Bagaimana bisa anak itu dengan segala obsesinya berani membuat putri sulungnya hampir meninggal?

Anaknya koma! Dan itu semua akibat dari ambisi Laura Andara Wiston!

Maka bukan hal mustahil mengirim anak buahnya ke kediaman Wiston dan menyeret Putri dari Antoni Wiston itu ke bandara.

"Om! Apa yang Om lakukan ini! Tidak! Lepaskan saya! Saya tidak tahu apa-apa!"

Rengekan Laura ketika diseret pada pukul 2 dini hari itu tidak Hendra dengarkan. Membuat keributan di rumah mewah Wiston hingga membuat istri Toni menangis ketika anaknya di paksa masuk ke dalam mobil besar milik keluarga Pramono.

"Hanya memulangkanmu ke tempat asalmu!"

Benar, Hendra melakukan apa yang ia katakan. Mengirim Laura ke Jerman tanpa apa-apa, itu mudah. Terbukti hingga Laura masuk ke dalam pesawat pribadi Hendra, gadis itu hanya memakai piyama panjangnya. Tanpa kopor atapun ponsel.

Dan jangan harap ada yang bisa mengirim benda-benda itu ke Laura tanpa sepengatahuannya. Beruntung Hendra masih berbaik hati tidak membunuh gadis itu.

Di sini jelas kalian tahu dari mana sikap berbahaya Nanzia, bukan?

●●●

"Eh, lo tahu di mana Laura?"

"Kenapa?"

"Udah 2 minggu Laura nggak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas."

"Coba tanya ke Fajar, mungkin aja dia tahu."

"Ah, gue mana berani."

Fajar mendengar pembicaraan anak-anak itu. Sebenarnya dia juga penasaran mengapa Laura tidak masuk sekolah 2 minggu ini. Bahkan bukan hanya itu, keluarga Wiston memutuskan pertunangan mereka tepat 9 hari yang lalu dengan alasan Laura yang memintanya.

Bukannya tidak suka, Fajar bahkan sujud syukur ketika tahu itu. Namun, tetap saja, ini aneh. Gadis itu sangat terobsesi padanya, dan kenyataan bahwa Laura yang meminta pertunangan mereka berakhir adalah hal yang sedikit aneh.

"Lo tahu di mana Laura?"

Pertanyaan Bagas membuat Fajar mengalihkan pandangannya ke arah pria itu.

"Nggak!"

Bagas terdiam sesaat sebelum akhirnya kembali bertanya. "Lo oke?"

"Maksud lo?"

"Jujur saja, sejak Nanzia masuk rumah sakit lo jadi aneh. Eh maksud gue, makin aneh. Emang ada apa sebenarnya?"

Ah, iya. Dia belum mengatakannya ke Bagas. Pantas saja bocah itu tidak mengerti akan perubahan sikap Fajar yang memang menjadi sedikit tidak seperti dirinya.

"Gue udah tahu siapa Nania itu, Gas."

Bagas terdiam sebentar. Ini adalah moment yang Bagas tunggu-tunggu selama ini. Firasatnya mengatakan bahwa Nania itu 'dia', bukan dia. Melihat bagaimana sikap Fajar beberapa hari ini membuat ia semakin yakin akan tebakannya.

"Jadi, siapa Nanianya lo?"

Fajar menutup matanya sesaat sebelum kembali membuka matanya dengan satu nama yang keluar dari bibirnya.

"Nanzia."

Gotcha!

Benar dugaannya selama ini jika Nania itu adalah Nanzia, bukan Nindia. Dan kembali Bagas menebak bahwa Fajar menyesal akan sikapnya ke Nanzia selama ini.

"Gue nyesel, Gas."

Benar, bukan?

"Gue nyesel banget udah nuduh Nanzia ngekang Nindia, nuduh dia kelewatan kejam, gue nggak tahu jika selama ini Nanzia begitu sayang dan sangat ngelindungi Nindia."

Heh, penyesalan memang selalu datang di akhir kisah Fajar. Bukan di awal.

"Lantas apa yang lo pikirkan?" tanya Bagas.

"Apa yang harus gue lakukan, Gas? Gue tahu lo cukup pintar untuk kasih gue solusi." Fajar menatap Bagas dengan tatapan memelas.

"Nggak ada yang bisa gue bilang ke lo," ujar Bagas membuat Fajar menunduk. "Nanzia koma dan lo terlanjur ngebaperin Nindia. Pilihan lo hanya satu, jangan nyakitin siapapun lagi."

Ia lupa satu hal jika selama ini dia sudah membuat satu gadis terbawa perasaan lagi. Bagaimana bisa dia lupa jika sudah membuat Nindia mungkin saja menaruh harap padanya?

Bagaimana jika Nanzia tahu akan hal ini? Dan bagaimana caranya untuk menjelaskan pada Nindia tentang apa yang terjadi saat ini?

"Apa yang harus gue lakukan, Gas?"

●●●
Seperti hari-hari sebelumnya, Ilham datang ke rumah sakit tempat di mana Nanzia terbaring dengan posisi yang sama dan alat-alat medis yang masih rapi berada di tubuhnya.

"Hey, Nan. Lo masih betah tidur? Gue udah kangen banget ama lo."

Tidak ada jawaban atau hanya sekedar gerakan, Nanzia masih tetap diam di tempatnya.

"Ini udah sebulan, lho. Nggak bosan apa bobo terus? Gue aja udah bosan ngelihat lo diam kayak gini."

Masih tetap sama, tidak ada gerakan apapun dari sosok yang coba Ilham ajak bicara.

"Demen banget lo tidur? Mimpi lo indah banget ya sampai nggak mau bangun. Nggak kasihan apa sama gue yang udah sampe lumutan nungguin lo bangun."

Ilham tahu percuma dia mengajak Nanzia bicara karena nyatanya Nanzia tidak akan membalas ucapan Ilham.

"Nan, gue kangen ama lo. Bangun, ya?"

Ilham menutup matanya seraya menunduk, membiarkan keningnya menyentuh punggung tangan Nanzia. Hingga ia bisa merasakan, jari telunjuk Nanzia bergerak pelan.

■■■
To be continue~

Ketika Yang Hilang Kembali✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang