XX. A New Dawn

77 7 0
                                    

Malam telah tiba di Asrafan, terangnya cahaya rembulan terlihat begitu indah dan menawan pada malam yang dingin ini. Di padang rumput yang luas terlihat lah ribuan tenda prajurit milik Ekh yang sedang beristirahat dan berlindung dari dinginnya malam, ratusan api unggun pun menerangi setiap tenda yang membuat padang rumput itu seakan di penuhi oleh kunang kunang.

Ekh sedang beristirahat di dalam tendanya yang besar, ia sedang berfikir apa yang akan ia lakukan jika ia bertemu dengan Nokt nanti. Hati kecil Ekh merasa bahwa ia mungkin bisa membujuk Nokt untuk mengakhiri semua ini, namun ia tahu bahwa Nokt tidak akan pernah mengubah pikirannya.

Ekh bangkit beridri dari kursinya dan mulai melepaskan baju zirah yang ia pakai, baju zirah tersebut merupakan baju zirah yang pernah Raja Weindel berikan padanya dulu. Setelah melepaskan baju zirahnya, Ekh lalu memakai baju jubahnya dan merebahkan dirinya di atas sebuah kasur.

"Apakah aku harus membunuhnya, ini terasa sangat salah dan juga membingungkan," guman Ekh dengan perlahan.

"Permisi Tuan Ekh, bolehkah hamba masuk?" ucap Afnes dari luar tenda.

"Silahkan, aku sedang tidak melakukan apa apa sekarang," ucap Ekh dengan tersenyum.

Afnes pun datang memasuki tenda, ia sedang memegang sebuah nampan yang berisikan beberapa potong roti dan segelas susu.

"Tuan, kau belum memakan apapun selama perjalanan beberapa hari ini. Tarnon dan juga Tuan Denenthor merasa khawatir akan kondisi mu sekarang, kemudian mereka menyuruhku untuk membawakan makanan dan juga minuman ini untuk Tuanku," ucap Afnes.

"Letakkan saja makanan itu di meja, aku akan memakannya nanti," ujar Ekh dengan tersenyum.

Afnes meletakan nampan yang berisikan makanan tersebut pada sebuah meja dan berjalan keluar dari tenda Ekh, namun Afnes memberhentikan langkahnya tepat sebelum ia keluar dari tenda Ekh.

"Tuanku, bolehkah hamba bercerita tentang sesuatu?" tanya Afnes dengan perlahan.

"Silahkan, aku suka mendengarkan cerita," jawab Ekh dengan tersenyum.

"Kita bangsa Elf, merupakan bangsa yang sangat menyayangi Asrafan dan setiap makhluk yang hidup di atasnya. Kita tidak diperbolehkan membunuh binatang, jika kita dengan sengaja membunuh binatang maka hukuman penjara yang lama akan diberikan kepada kita.

Pada suatu hari, sebuah rombongan patroli kami menemukan sebuah sarang macan hutan raksasa yang letaknya tak jauh dari Gaiandale. Kita sebagai bangsa Elf sudah mengenal setiap macan hutan raksasa yang menghuni hutan kami dan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, macan hutan pun sering datang menghampiri kami dengan ramah dan terkadang mereka bertingkah manja di hadapan kami. Namun, pada saat itu terjadi sesuatu yang mengejutkan.

Macan hutan yang menghuni sarang tersebut nyaris membantai rombongan patroli terkecuali beberapa orang Elf yang melarikan diri, para Elf yang selamat mengatakan bahwa macan hutan tersebut menyerang mereka tanpa alasan yang jelas. Sang Raja Elf pada saat itu berasumsi bahwa sang macan hutan hanya berusaha mempertahankan daerah kekuasannya dan belum mengenal bangsa Elf, kemudian ia menyuruh prajurit patroli untuk tidak datang menghampiri daerah macan hutan tersebut demi keselamatan. Namun hal itu tidak berdampak apapun, semakin banyak pasukan patroli yang menghilang tanpa jejak semenjak mereka pergi ke dalam hutan.

Sang Raja tahu bahwa kejadian ini disebabkan oleh sang macan hutan, kemudian Sang Raja berusaha memutar otak agar macan hutan itu menjadi jinak kepada bangsa Elf. Sang Raja akhrinya mendapatkan sebuah solusi yang sangat kontroversial pada zaman itu. Sang Raja memerintahkan beberapa prajuritnya untuk membeli daging binatang pada kota manusia dan memberikannya pada sang macan hutan sebagai tanda pertemanan, namun hal itu tetap tidak berdampak apapun dan pasukan yang ia kirim menghilang di dalam gelapnya hutan.

Asrafan : The Dance of Two Flame (END)(Buku pertama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang