01. First Meet

12.1K 1.1K 163
                                    



Aku tersentak dan bangun dari lelapku, memutar kepala ke kiri dan ke kanan lantaran rasa pegal oleh ulahku sendiri yang tertidur di bangku tunggu pelabuhan kapal laut.

Aku benci yang seperti ini, setiap kali mata terpejam membawa angan ke dalam mimpi, sekelebat ingatan itu merasuki otak. Aku tak bisa melupakan bagaimana gerakan kekasih yang menggagahi sahabatku sendiri. Padahal ini sudah satu minggu, aku ingin segera mengubur dan melupakan semuanya.

Mata mengerjap kala nada peringatan dari pengeras suara pelabuhan terdengar di telinga.

"Kapal feri nomor lima dengan tujuan kota Seoul akan segera—"

Segera saja kurogoh tiket kapal lautku yang sudah kubeli satu jam yang lalu untuk memastikan jika yang kudengar itu tadi salah. Nomor lima? Bagaimana dengan nomor empat?

Aku mulai khawatir dan dengan segera membenahi tas punggung bawaanku. Kulangkahkan kaki dengan segera menuju ruang informasi.

"Maaf, kapal nomor empat menuju Seoul?" Aku bertanya pada petugas ruang informasi.

Gadis petugas tersenyum sembari berucap. "Kapal feri nomor empat sudah berangkat menuju Seoul tiga puluh menit yang lalu, Tuan."

Sial. Padahal saat menunggu tadi kapalnya belum berlabuh, tetapi aku malah tertinggal hanya karena tertidur selama satu jam lamanya.

"Lantas, bagaimana dengan kapal nomor lima, apa tiketnya masih ada?" Aku bertanya berharap bisa pulang ke Seoul sore ini juga.

"Maaf Tuan, pembelian tiket ditutup lima belas menit sebelum keberangkatan dan kapal nomor lima akan berangkat sesaat lagi."

"Lalu? Kapal feri nomor berapa yang akan berangkat ke Seoul dalam waktu dekat?" Bukan suaraku, tetapi suara lelaki lain di balik punggung. Ketika melirik, wajahnya terlihat terlihat kusut. Matanya sembab dengan rambut yang sudah acak-acakan. Mungkin dia juga tertidur kala menunggu, sama seperti diriku.

"Pelabuhan kami tidak beroperasi dua puluh empat jam. Setelah jam sepuluh malam, tidak ada lagi kapal-kapal feri yang beroperasi. Kapal feri nomor lima adalah kapal laut terakhir untuk tujuan kota Seoul. Hm ...." Petugas ruang informasi memastikan kembali jadwal keberangkatan selanjutnya. "Tuan-tuan bisa membeli tiket kapal tujuan kota Seoul besok pagi yang di mulai dari jam delapan, keberangkatannya pada jam sembilan tiga puluh." Dia mengakhiri informasinya dengan senyuman manis.

Lelaki tadi berucap terima kasih, sedang diriku berbalik dan mengumpat. Ini benar-benar di luar dugaan. Memang sebenarnya kembali ke Seoul bukanlah ide yang baik di saat hati sedang gundah. Akan tetapi, aku benar-benar harus kembali jika tidak ingin kehilangan kesempatan wawancara pekerjaanku esok hari.

"Apa ini berita buruk?" Lelaki yang bernasib sama denganku tadi menyapa. Dia menyodorkan kotak rokoknya padaku.

"Terima kasih." Aku tak menolak, mengambil satu dan menggigit batang tembakau itu ketika lelaki di sebelahku membantu menghidupkan apinya dengan pemantik di tangannya.

"Kudengar pulau ini tidak memiliki pelabuhan terbang." Dia kembali berucap. Aku juga mendengar beritanya. Tadinya aku pikir itu adalah berita yang bagus, toh aku tidak ingin segera pergi dari pulau ini. Namun, telepon dari perusahaan tempat melamar pekerjaan menghubungi tadi siang, itulah yang membuatku untuk tergesa-gesa kembali.

"Sepertinya aku harus merelakan wawancaraku." Tersenyum kecut untuknya, karena perasaan hatiku semakin tak membaik.

"Jadi apa rencana setelah ini?" Dia bertanya seraya meniup asap nikotinnya ke udara.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang