02. One Night Stand [M]

11.3K 808 39
                                    


Jika harus menjelaskan bagaimana lelaki asing yang tak sengaja bertemu dan kemudian mengajak minum soju di kamar sewa, maka aku akan menjawab dengan mengatakan ia adalah lelaki rupawan, dilihat dari paras wajahnya. Matanya elang, garis rahang terlihat jelas dengan belahan dagu yang tampak tipis. Kulitnya tak putih bersinar seperti kulitku atau kulit orang pribumi kebanyakan, tetapi kuakui, itu memikat. Warna kulit yang cenderung gelap menegaskan jika ia lelaki maskulin idaman. Hidung sedikit mancung dengan bibir tebal memerah, aku sangat munafik jika mengatakan tidak tertarik sama sekali roman semacam itu.

Dia memberi kecupan di bibirku, tangannya menceruk dan menyusup masuk memenuhi tengkuk. Aku tak bisa menolak lagi, semakin dalam ia menyesap, semakin tinggi hasrat dan gairahku. Barangkali ditambah tubuh yang sudah memanas oleh beberapa gelas soju yang kureguk. Aku menginginkan lebih.

Kupejamkan mata untuk meresapi setiap lumatannya. Tanganku bahkan menarik kerah kausnya menuntut ia agar semakin mendekat, semakin membunuh jarak di antara kami. Bibirku terbuka; sengaja mengundang lidahnya untuk masuk ke dalam rongga mulut, memberikan sensasi menggelitik di dalam sana seraya beradu dengan lidahku. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku mendapatkan kecupan semacam ini, tetapi lelaki ingin melakukannya dengan sangat jantan dan tidak melecehkan sama sekali. Aku benar-benar menginginkan yang lebih dari ini.

Begitu ia melepas kecupannya. Dia langsung saja membalikkan tubuhku membelakangi, meminta punggungku untuk dicumbu olehnya. Kakiku masih berlutut di lantai dengan tubuhku yang sudah ambruk di atas ranjang.

Entah kapan ia berhasil melepas kaus yang kukenakan, yang jelas kini jari jemarinya sedang menelusuri punggung. Bisa kurasakan jari tengahnya berjalan, bermula dari tengkuk dan turun ke bawah membelah punggung hingga mencapai tulang ekor. Aku menggelinjang.

"Uuhh..." Desahku terdengar sangat laknat sejurus tangannya yang menyusup ke dalam celana dan meremas bokong. Bibirnya mulai mengecup tengkuk dan melumat setiap inci daging pundakku.

"O, ini mint. Aku suka aromamu." Dia berbisik di telinga. Aku suka pujiannya, tetapi tak bisa berkata apa-apa, yang kulakukan hanyalah terbenam semakin dalam ke badan ranjang kamar sewa karena sentuhannya benar-benar menggelitik, membuat hasrat semakin membuncah.

"Aakhh ...." Satu jari masuk ke dalam sana, sejurus giginya yang menggigit kuit punggung. Tubuhku semakin gelisah seirama dengan satu jarinya yang bergerak keluar masuk.

Dia menarik celanaku hingga lepas di atas lantai.

"Du—dua, kumohon?" Tak cukup, tak puas dengan satu jari yang menusuk, aku meminta lebih. Aku melonjak kegirangan ketika dia mengabulkan permintaanku. Semakin asal saja dua jarinya mengorek-ngorek di dalam sana.

"Lagi ... lebih dalam ...." Aku terus menuntut, apa-apa yang dilakukannya menjadi tidak pernah cukup untukku. Aku ingin lebih dan lebih lagi.

"Argh!" Aku terkejut, karena akhirnya dia menyentuh titik kenikmatanku. "Di—di sana, benar di sana!" Kepala terasa berkunang-kunang, wajahku semakin memanas, semakin memerah. Ini terlalu nikmat, aku tak bisa menahannya lagi.

"J—jangan berhenti, kumohon?" Aku melirik lantaran dia malah memperlambat sentuhannya. Aku menginginkan ia menusuk lebih dalam.

Kulihat dia menyeringai dan memutar kembali tubuhku berbalik untuk menghadap ke arahnya. Dia mengangkat naik bokongku ke atas ranjang dan lantas mengecup bibirku dengan tak sabaran. Pekikku tertahan di bibirnya kala ia kembali menusuk asal-asalan tangannya di bawahku. Lagi-lagi ia mengenai titik nikmat ini.

"Aaarrghh ...." Tubuhku menggelinjang, bola mata memutar selaras dengan orgasme datang menuju puncak. Dia berhasil membuat cairan kenikmatanku tumpah di mana-mana.

"Kau benar-benar tampan dengan wajah sendu penuh gairah." Dia tersenyum memuji, juga terlihat membanggakan diri karena berhasil membuatku tumbang hanya dengan sentuhan tangannya dan berhasil membuat wajahku memanas merah karena pujiannya.

Aku terengah-engah sembari mengatur napas kala dengan samar kulihat dia melucuti pakaiannya. Aku semakin bergairah saja. Ternyata selain rupawan, tubuhnya sangat atletis. Aku suka bentuk garis-garis persegi empat yang tercetak di perutnya.

"Kau bilang lebih suka memuaskan. Ayo, tunjukkan padaku!" Dia meminta, sembari berdiri tegap di dekat ranjang; memberikan kejantanannya padaku.

Sekuat tenaga kemudian aku mengangkat tubuhku bangun, berjongkok di hadapannya untuk meraih dan mencicipi kejantanannya. Ah, ini terlalu besar. Milik Park berengsek itu juga besar, tetapi ini lebih lagi. Satu tangan bahkan tak cukup menggenggamnya.

Kuulur lidahku untuk mulai menjilati kepala penisnya, lantas mengecup perlahan sebelum benar-benar kutelan lebih dalam batang besar itu. Tak cukup, aku tak mampu menampungnya. Ini terlalu besar, bahkan setelah dipaksakan dia hanya masuk hingga setengah.

Tiba-tiba kurasakan tangannya meraih suraiku, meremas, dan lalu memaksa kepalaku bergerak maju dan mundur. Semakin lama semakin cepat menuntut mulutku bergerak keluar masuk di batang kejantanannya.

"Ini benar-benar nikmat." Kulihat dia mendongak, menikmati setiap gerakan mulutku yang bergerak maju dan mundur.

Aku tersentak seketika. Airmata tak sengaja mengalir ketika ia mendorong lebih dalam, masuk hingga kepala penisnya mengenai kerongkongan. "Aahh ...." Dia mendesah.

"Sial! Aku tak tahan lagi."

Dia melepas mulutku dari penisnya dan menuntunku naik ke pangkuannya. Perlahan penisnya menyapa lubang, membuatku meringis karena sakitnya terasa hingga ke ubun-ubun. Aku menahannya, masih menutup rapat bibir dan mataku ketika ia mulai membantuku menggerakkan pinggul. Sekali, dua kali, rasanya sakitnya masih belum hilang.

Namun, ketika penisnya mulai menemukan titik nikmat itu, ronaku kembali memerah. Mendongak penuh gairah dan melonjak semakin kegirangan di atasnya. Aku sudah berkali-kali melakukan posisi ini, tetapi dengan kedua tangannya yang membantuku menggoyangkan pinggul, entah mengapa aku merasakan perasaan yang berbeda. Dia terlalu baik menyikapi, membuatku merasa bahwa aku bukan hanya pemuas nafsunya, tetapi karena aku benar-benar mau melakukannya.

Dia mengangkat tubuhnya untuk bangun dan merubah posisi kami. Rasa menggelitik itu menyapa kembali ketika ia memutar tubuhku untuk menunggik tanpa melepas penisnya di dalam lubangku.

"Akh ... Akh ...." Dia memulai lagi gerakannya. Dia juga mendekatkan diri untuk datang memeluk dari belakang punggung, sejurus dengan tusukan yang semakin dalam. Dia menghujani punggung, bahu, dan tengkukku dengan kecupan-kecupan hangat bergelora.

"Oh ... Oh!" Desahanku merajalela ketika kedua tangannya datang memilin kedua puting susu. Selain nikmat di bawah sana, dia memberi sejuta rasa dengan tangan memilin dan kecupan lain di seluruh tubuhku yang semakin dahsyat.

Dia benar-benar pemain yang hebat. Ini sih namanya bukan aku yang memuaskan, tapi dia yang memberikan kenikmatan luar biasa.

"Akh! Aku hampir sampai!" Dia mengerang selaras dengan gerakan bokong yang belingsatan. Tubuhku semakin terentak-entak. Tangannya dengan cekatan meraih penisku untuk diguncang seirama dengan gerakan bokongnya yang tiada henti.

"Uhh ... Oh!" Ini menjadi semakin menyenangkan sekali. Gerak belingsatannya adalah yang kusukai, karena berkali-kali ia mengenai tempat di mana kepalaku terasa berputar karena nikmat yang tak terhingga.

"S—siapa namamu?" Dia bertanya di sela-sela desahanku dan gerakan bokongnya yang semakin cepat.

Ah, benar. Kami belum berkenalan. Dia pasti bingung akan mendesahkan nama siapa ketika sampai.

"D—Dyo." Aku memutuskan memberitahu nama tenarku saja di dunia kerja. Dia belum berhak mengetahui namaku yang sebenarnya, apalagi aku tak tahu kami akan bertemu lagi setelah ini atau tidak.

"D—DYO! AARRGHH!!" Dia menusukkan penisnya ke lubangku hingga ke yang paling dalam dan menumpahkan segalanya di sana.

"AARGHH!" Dia membuatku memekik lantang selaras dengan cairannya yang memenuhi lubangku. Bukan hanya cairannya saja yang tumpah, tetapi kenikmatanku pun memenuhi alas tempat tidur sejurus dengan tangannya yang perlahan berhenti mengguncang.

Kami ambruk bersamaan. Tidak peduli jika peluh dan air mani memenuhi serta menguar di sekitar kami.

___________

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang