40. Witches

4.6K 664 240
                                    


Sudah kukatakan aku pernah tahu siapa lelaki dengan pakaian elegan dan berkelas ini. Apalagi kala mobil mereka memasuki gerbang besar nan megah. Mobil lantas melaju dengan cepatnya menuju halaman rumah yang sangat mewah. Sudah lebih dari dua tahun lamanya aku meninggalkan rumah ini.

"Tuan Muda Kyungsoo harus ikut masuk ke dalam. Presdir Do sudah menunggu." Lelaki dengan pakaian elegan dan berkelas tadi yang berucap, kali ini ia sudah berbicara dengan nada sopan, tidak pemaksa seperti saat lalu. Aku mengingatnya, dia adalah tangan kanan ayahku, orang kepercayaan Ayah yang melebihi siapa pun yang Ayah kenal.

Dua lelaki besar tadi sudah tak memaksa lagi, alih-alih membuka pintu mobil dan mempersilakan diriku untuk turun dari mobil yang kami naiki. Barangkali karena mereka pikir aku sudah tidak bisa ke mana-mana lagi jika sudah sampai di sini. Jadi, mereka mulai memperlakukanku seperti anak dari bos mereka.

Hari memang sudah malam, namun masih bisa dengan jelas aku memandangi bagaimana suasana halaman rumahku setelah begitu lama kutinggali. Saat aku masih di sini, tak seorang pun kuperbolehkan menganggu rumah kaca Ibu yang terletak di ujung halaman rumah. Namun kini, rumah kaca itu sudah tak terlihat lagi, bahkan hilang bekasnya. Sudah bisa ditebak, ini pasti ulah ibu tiri.

Kaki lantas dengan perlahan memasuki rumah keluargaku yang sangat besar. Waktu dahulu, begitu membuka pintu dan berjalan menuju ruang keluarga maka dengan beragam potret ibu dan ayahku memenuhi dinding rumah, ada juga beberapa potret bersama diriku. Namun kini, semuanya sudah sirna. Berganti dengan potret Ayah bersama keluarga barunya. Kami benar-benar sudah terkubur dalam dari pikiran Ayah.

Kala memasuki ruang keluarga, sudah ada Ayah yang berkecak pinggang, istrinya duduk dengan elegan di sofa ruang keluarga. Wajahnya masih cantik seperti terakhir kali aku meninggalkan, tetapi entah kenapa aku tak suka sekai dengan perawakan semacam itu.

"Dasar anak tak punya otak!"

Aku menelan air liur untuk membasahi tenggorokan. Kalimat kasar itu yang digunakan Ayah untuk menyapa setelah aku sampai di hadapannya. Barangkali aku adalah anak yang taat, sehingga tak pernah sekali pun aku membantah Ayah atau sekedar melawan kata-katanya. Yang kini kulakukan hanyalah menunduk, menghindari bagaimana kilatan mata Ayah menghujamku.

"Kau pikir berita di televisi mengejutkanku?! Kau pikir aku dengan segera akan merestui?!" Ayah masih saja berteriak.

Berita di televisi yang dimaksud itu pastilah berita Pak Direktur yang berucap pada media untuk menunggu saja berita pernikahan kami. Apa yang salah dengan berita itu? Apa hanya aku yang merasa bahagia dengan berita itu?

"Kau itu anak pemilik D&O! Bagaimana bisa kau berpikir menikahi lelaki?! Kapan kau bisa memakai otakmu untuk berpikir?!"

Aku memejam mata dalam tundukan kepala. Aku sendiri tak tahu seberapa hina diriku dan seberapa bodoh isi kepalaku, sehingga Ayah berpikir aku tak pernah menggunakan otakku.

"Kau seharusnya mencari gadis jelita, yang ayahnya pemilik perusahaan besar! Apa kau tidak berpikir untuk memiliki penerus?! Kau pikir siapa yang akan menjadi penerus D&O selanjutnya jika kau yang lelaki menikah dengan lelaki!"

Aku meremas ujung bajuku. Aku tak pernah berpikir sama sekali untuk menikahi seorang gadis. Bahkan jika tidak dengan Pak Direktur pun, aku tetap akan menikahi lelaki. Sudah kukatakan, aku menyimpang sejak lama.

Lantas kemudian persoalan penerus perusahaan, aku bahkan tak pernah berpikir sama sekali untuk memimpin suatu perusahaan. Pun begitu nanti jika aku memiliki anak, aku tak pernah ingin anak-anakku dibutakan oleh kemilau harta yang melimpah ruah.

"JAWAB DO KYUNGSOO!" pekik Ayah semakin lantang.

"A—aku hanya akan menikahi Direktur Kim." Kupejamkan lagi mata dalam tundukan. Ini pertama kalinya aku membantah Ayah.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang