46. Fear of Happiness

5.7K 616 148
                                    


Pak Direktur menghentikan mobilnya di depan rumah Bibi Ahn. Aku meminta Pak Direktur untuk membawa pulang pagi-pagi ke rumahku terlebih dahulu sebelum pergi berangkat bekerja. Aku ingin mengganti pakaian yang kukenakan kemarin.

Pak Direktur menahan tanganku setelah aku membuka sabuk pengaman dan bermaksud keluar dari mobilnya. "Aku yang akan menggendongmu ke atas," ucapnya dengan senyuman menawan.

"Aku—"

"Ssstt!" Dia menghalangiku untuk berucap. "Suaramu bahkan parau seperti itu, jika kau terus memaksakan berucap maka suara itu akan benar-benar hilang. Dan, aku tahu sekali jika bokong itu masih terasa sakit. Jadi jangan membantah suamimu!"

Mau tak mau akan menghela napas sembari menyemat senyum rendah bersamaan dengan anggukanku. Padahal ini semua ulah kelakuannya. Kukira setelah mencium bibir di balik perapian, kami hanya akan menikmati minuman anggur untuk merayakan hari jadi rumah baru kami. Namun, dia malah tak berhenti mesum dan maksiat. Dia sungguh tak main-main ketika berucap akan membuatku tak berjalan dan tak dapat berucap keesokan hari. Aku bahkan terus harus meneriaki namanya di sela desahan nikmat semalam suntuk. Alhasil, pagi ini suaraku benar-benar hampir hilang.

Pak Direktur lantas keluar dari dalam mobil, berlari kecil menuju pintu mobil di bangku penumpang. Dia membuka pintu dan berjongkok. "Ayo naik!" perintahnya sembari memberikan punggungnya. Aku tersenyum sejenak sebelum kemudian naik ke punggungnya.

"Hari ini tak usah banyak bicara, jika kau memerlukanku atau ingin bicara padaku, cukup ketik pesan. Aku akan selalu menjawabmu." Dia berucap sembari membawaku masuk ke rumah Bibi Ahn dan naik ke lantas atas menuju rumah atap.

Aku tersenyum di belakang punggung, lalu merogoh ponselnya dari saku jas dan mengetik sesuatu di sana. Lantas aku menunjukkan pesanku itu untuknya.

Dia ikut tersenyum sipu-sipu. "Kau bahkan tahu aku lebih mencintaimu," ucapnya membalas pesan yang kutulis di ponselnya.

Aku baru akan mengetik pesan kembali kala Pak Direktur terhenti di halaman rumah atapku. Ada lelaki yang duduk di kursi beranda rumahku, dia beranjak dan datang mendekat.

"Kyungsoo?!"

Pak Direktur menurunkan tubuhku dari gendongannya dan bermaksud berjalan menghampiri lelaki itu. "Mau apa kau datang?!" Aku menahan kekasihku. Aku tahu dia akan kembali memukul seperti malam waktu itu.

"Kyungsoo, izinkan aku bicara."

Sudah seminggu yang lalu saat aku meninggalkan sendiri saja di kamarku. Jika dipikir lagi, kami memang belum bicara sejelas mungkin. Itulah mengapa ia tetap saja datang menemui. Kali ini, aku harus benar-benar membuatnya mengerti.

"Baiklah, ayo bicara, Yeol." Aku tetap berusaha berucap dengan suara parauku.

"Mau bicara apa? Kau tak perlu menanggapinya, Kyung!"

Aku tahu kekasihku tak akan mengizinkan, namun aku harus benar-benar menyelesaikan masalahku dengan mantan kekasih. Jika tidak, ia akan terus menemui atau meminta untuk kembali padanya.

Aku lantas menarik kekasihku masuk ke dalam rumah, berusaha membuatnya mengerti jika aku harus bicara pada mantan kekasih.

"Aku harus bicara padanya."

"Bicara apa lagi? Kau dan dia sudah selesai. Sudah kukatakan jangan banyak bicara hari ini, suaramu sudah habis oleh ulahku semalam! Kau—"

Jika sudah begini, mau tak mau aku harus menarik kerah jas sang kekasih untuk mengecup bibir, melumat, dan menyesap dalam.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang