49. Ain't A One Night Stand [M]

8K 561 130
                                    



"Puas dengan kamar yang kau sewa?!"

Aku berkecak pinggang kala sampai di kamar sewa kami. Kamar yang sama di mana kami pertama kali bersatu padu. Tidak ada yang beda dari kamar ini, masih sama seperti waktu lalu. Ranjang ukuran kecil dengan televisi di seberang kaki ranjang. Tak ada sofa lantaran ini adalah kamar yang paling murah di hotel ini, sepadan dengan isi kantongku waktu lalu saat pertama kali bertemu. Hanya saja, waktu itu kami adalah orang asing dan memesan dua kamar yang berbeda. Namun kini, kami sepasang kekasih yang sebentar lagi akan menikah, yang hanya butuh satu kamar kecil semacam ini saja untuk menghangatkan tubuh.

Dia memelukku dari belakang punggung. "Coba kau lihat sekelilingmu, Sayang! Dan ranjang itu, apa kau tak mengingat sesuatu?" Dia berucap manja dari belakang punggung. Dagunya menempel pada pundak, wajahnya melekat dengan wajahku, dan tangannya semakin erat melingkar di perut.

Tak bisa kupungkiri, sekelebat wajahku memerah. Aku menelan ludah mentah-mentah. Terbayang kembali bagaimana botol-botol soju dan remah-remah keripik kentang yang berserakan. Teringat kembali kami yang berkecup hangat untuk pertama kalinya. Tak bisa kulupakan bagaimana aku memintanya menusuk dengan jari jemari lebih dalam. Kepalaku terngiang bagaimana aku melahap penis besar itu. Aku bahkan bisa melihat bayanganku melonjak-lonjak di atas pangkuannya dengan desah nikmat tak menentu.

"P—Pak Direktur—" Aku tergugup.

Namun, ia malah membuatku tersentak dengan membalikkan tubuhku dan mendorong hingga terjatuh di ranjang. Aku tak bisa berkutik kala ia merangkak naik menimpa tubuh mungilku. Seringainya memikat, tampan sekali wajahnya dengan rambut yang sudah sedikit acak. Aku terpesona.

"Jika kau tak ingat lagi, aku akan membantumu mengingatnya, Sayang."

Aku menutup mata sejurus wajah tampan yang terus merunduk mendekati. Hangat napasnya sudah tak bisa kulawan lagi, mereka menerpa wajah dengan cuma-cuma. Tak perlu heran jika sekelebat wajah serta tubuhku ikut memanas.

"P—Pak Direktur?"

"Kim Jongin, Sayang. Panggil namaku!" Dia mengoreksi panggilanku padanya. Sungguh, sudah terbiasa dengan bahasa sopan itu kala memanggil sehingga jika nama yang kusebut, masih terasa kaku di lidah.

"Ngghh!" Aku mendesah kala lututnya dengan sengaja menyelinap masuk di antara kedua paha, yang kemudian menekan lantas menggesek sesuatu di bawah sana hingga lamat-lamat menjadi semakin keras dan menegang. Pak Direktur memang jagoan dalam hal menggodaku hingga hasrat maksiat meluap-luap.

"J—jangan ...."

"Apa yang jangan? Kau pikir aku bersikeras mendapatkan kamar ini sampai bertengkar memalukan dengan petugas di sini hanya untuk mengikuti ucapan jangan-mu?" Kekasihku menggelengkan kepala. "Tidak, Sayang. Tidak ada kata jangan malam ini."

"I—Ini masih sore." Napasku tersengal, mulut bahkan terbuka semakin lebar, mata sudah setengah terbuka lantaran lututnya terus bergesek dengan milikku. Tak perlu berbohong, yang seperti ini saja sudah nikmat sekali.

"Eum, masih sore dan aku akan menghancurkanmu hingga sore lagi." Dia masih berkernyih dengan senyum miring yang menawan. Ah, bagaimana cara membantahnya?

"M—mesum!" Wajahku memerah.

Tanpa sempat menarik napas, bibir Pak Direktur sudah menyapa bibirku. Dia menuntun bibirku agar terbuka lebar sehingga lidahnya dengan mudah kemudian menggulung lidahku. Ciumannya semakin membara kala ia menyesap lidah bersamaan dengan melumat bibir bawah dan bibir atas bergantian. Pak Direktur tak memberi ampun bibir dan isi mulutku dalam sekejap, dia terus menyesap dan melumat seluruhnya hingga aku kesulitan bernapas.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang