Aku menyibak selimut di mana kekasihku tengah terlelap dengan nyenyaknya. Matahari sudah naik ke peraduan, namun ia masih enggan membuka mata meski sejak tadi aku berusaha membangunkan.
"Pak Direktur, ayo bangun. Aku lapar." Kubisik dengan lembut kalimatku di telinga sehingga membuatnya tergelitik dan menggeliat. "Ayo bangun, kekasih tampanku."
Dia tersenyum dengan mata terpejam mendengar kalimatku. Dia lantas menarik tubuhku hingga terjatuh di ranjang. Dia kemudian memeluk erat yang mengunci tubuhku hingga tak dapat digerakkan. "Hm. Kau sudah mandi ternyata, aromamu segar." Pak Direktur berucap dengan nada khas seseorang baru saja bangun tidur. "Tetapi, bagaimana ini? Sebentar lagi aroma segar ini akan berubah menjadi aroma peluh khas bercinta?"
"Hei?! Hei?!" Aku memberontak kala Pak Direktur mulai berulah, dengan mata terpejam dia mencoba membuka pengikat baju handukku.
Padahal kami sudah melakukan hingga lelah semalam. Pak Direktur tak terhenti begitu saja setelah acara mandi kami semalam, dia bahkan berlanjut hingga membuat ruangan kamar hotel kami berantakan. Jika pagi ini dia berniat melakukan lagi, aku bisa-bisa tak sanggup berjalan lagi.
"J—jangan! Jangan Pak Dir—ahh! Lebih baik kita—ohh! Ayo sarapan pagi. Kita sarapan saja! Ahh!"
Pak Direktur masih gencar menggerayangi. "Apa kau tak lihat aku sedang berusaha menikmati sarapan pagiku, Sayang? Dirimu adalah sarapan pagi terlezat. Bahkan aromanya sudah menggiurkan sekali." Ucapan Pak Direktur mesum sekali selaras hidung yang menghirup aroma tubuhku.
"Tidak, tidak, tidak! Tidak!" Aku memekik, berusaha sekuat tenaga melepas diri. Aku benar-benar lapar dalam arti sesungguhnya. Aku ingin memuaskan perutku bukan memuaskan nafsu bejat Pak Direktur di pagi hari.
"Sebentar saja, Sayang. Sekali saja." Pak Direktur tak menyerah.
"Sekali buatmu, berkali-kali bagiku. Tidak mau!" Aku terus memberontak.
Sepertinya Tuhan berada di pihakku, sedetik kemudian ponsel Pak Direktur di atas nakas tempat tidur berbunyi. "P—ponselmu. Sayang, ponselmu berbunyi." Aku mencoba membujuk Pak Direktur.
"Menolak peduli. Aku hanya ingin Do Kyungsoo." Pak Direktur menggeleng kepala, masih dengan mata tertutup. Tangannya masih menggerayangi tubuh, ini mereka bergerak turun menuju tempat berbahaya.
Aku tak menyerah, dengan sekuat tenaga berusaha meraih ponsel Pak Direktur dan melirik siapa penelponnya. "D—Detektif Ji. Detektif Ji yang menelepon!"
Sekejap saja Pak Direktur terkesiap. Gerakan tangannya di tubuhku pun terhenti seketika, mata terpejamnya membeliak dengan jelas. Pak Direktur meraih ponsel genggamnya di tanganku.
"Halo? Katakan!"
Wajah kekasihku menegang sejurus dengan ia yang mengangkat tubuhnya bangun. Aku menelan air liur dan merapikan baju handuk yang sudah acak-acakan oleh kelakuan Pak Direktur. Aku kemudian terus menatap wajahnya yang mengeras mendengar suara di dalam telepon.
Aku tak kenal siapa Detektif Ji, namun aku yakin ini tak menyenangkan. Berharap saja ini bukan hal buruk yang kembali akan mengacaukan kami.
"Baiklah. Aku akan segera menemuimu."
Pak Direktur menutup sambungan teleponnya dan beranjak dari ranjang. "Sayang, rapikan barang-barang bawaan. Kita harus pulang sekarang juga." Pak Direktur tampak tergesa-gesa. Aku menggapai tangannya.
"Tidak bisakah kau ceritakan apa yang terjadi?" Pak Direktur selalu saja seperti ini. Dia enggan bercerita masalahnya padaku. Kali ini aku tak bisa diam saja, lagi pula dia akan menjadi suamiku. Aku ingin hanya diriku seorang tempatnya berbagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...