Pak Direktur membuka mulut, menuntunku untuk menarik lidah dan menyesap dengan nikmat. Dia, yang memejamkan mata, melumat daging bibir lantas menyesap hingga merah membengkak. Jika saja petugas jaga malam rumah sakit tidak membuat keributan dengan sedikit berisik di dekat lorong lobi, barangkali Pak Direktur enggan melepas pagutan.
Aku memberi jarak tubuhku pada tubuh Pak Direktur kala kedua petugas jaga malam datang mendekat.
"Sudah malam, sebaiknya pasien pergi tidur dan beristirahat." Salah satunya memberi saran. Pak Direktur memberi respons iya dan menundukkan kepala mengiringi kepergian kedua petugas jaga malam kemudian.
"Ayo naik ke punggung." Pak Direktur lantas berjongkok memberikan punggung untuk menggendongku.
"Tak usah. Aku bisa berjalan." Aku menolak. "Lagi pula terlalu repot menggendong dengan penggantung selang infus ini. Aku berat." Kuberikan alasan yang sedikit logis untuk menolak.
"Kau meremehkanku, aku perkasa!" Dia menoleh dan mendongak kepala untuk menatapku di belakang punggung. Aku terkikik oleh ujaran sombongnya, namun lantas datang mendekat untuk menerima penawaran menggendong.
"Jangan salahkan loh jika berat." Ucapku kala sudah melingkari tangan di lehernya, tangan yang lain masih memegang penggantung selang infus. Dokter belum membuka infusnya padahal kurasa aku sudah sehat sekali.
"Aku sudah pernah menggendong kala bercinta, jadi bukan masalah besar." Pak Direktur mengundang daging pipi untuk memerah di belakang punggungnya.
"J—Jangan berucap mesum!" bentakku terbata-bata kala ia sudah mengangkat tubuh dan mulai melangkahkan kaki. Kulihat Pak Direktur menyemat senyumnya.
Aku suka kami yang semacam ini. Bersenda dan bergurau bersama dengan lembut dan mesra seraya berbagi kehangatan. Ia menggoda dan aku memerah. Ia terkekeh lantas aku tersipu malu. Sungguh, ingin selalu semacam ini, aku tak mau lagi terjadi kesalahan antara kami.
"Pak Direktur?" Aku menyapa.
"Iya, Sayang."
"B—buburnya enak. T—terima kasih." Aku berucap terima kasih dengan malu-malu. Masih belum percaya itu adalah buatan ibu Direktur Kim. Bisa saja Sekretaris Ha mengada-ada agar hatiku berbunga-bunga.
"Ah, benar! Kau harus berterima kasih pada Ibu," ucap Pak Direktur.
"J—jadi benar buatan Ibu Presdir?" Aku masih terbata-bata, menggigit bibir bawah mulai khawatir. Padahal bukan siapa-siapa tapi malah merepotkan Ibu Presdir.
"Barangkali Ibu ikut frustrasi lantaran aku terus mengumpat sembari membuat bubur yang terus gagal tadi pagi. Ibu membantu dan bertanya-tanya tentangmu."
"B—bertanya-tanya?" Aku membeliak dan menelan ludah.
"Eum."
"Lalu?" Wajah yang sudah memerah, kukubur dalam-dalam di pundak Pak Direktur. Terlalu gugup, detak jantung pun sudah senewen. Belum pernah ibu kekasihku bertanya-tanya tentangku sebelum ini. Baru ibu Pak Direktur yang melakukannya.
"Tidak ada yang spesial. Kubilang kau tak cantik, pendek, bulat, dan pemarah."
Sekelebat aku menggigit pundak Pak Direktur. Dia memekik kesakitan. "Ouh! Seharusnya aku mengadu pula pada Ibu tentang yang ini. Kau gemar menendang, memukul, dan menggigit."
"S—seharusnya kau beritahu yang baik-baik!" Aku membentak lagi.
Pak Direktur terkekeh sembari memutar kepala ke belakang. Dia bersungut bibir memberi isyarat agar aku mencium. Aku terkekeh saja dan malah mencubit hidung tidak bangir miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...