"P—Pak Direktur ...."
Detak jantung melonjak-lonjak tak keruan kala ia datang mengapit. Barangkali sudah menjadi kesukaan Pak Direktur untuk menjepit tubuhku pada dinding dengan tubuhnya. Senyum menyeringai itu yang membuat seluruh tubuh gemetar, sungguh takut membayangkan apa yang akan ia lakukan di dalam elevator yang hanya membawa kami berdua saja.
"J—jangan di sini, P—Pak Direktur." Napasku menderu kala tubuhnya benar-benar tak berjarak dengan tubuhku, terlalu lekat berdekatan rapat. Apalagi kala kedua tangan diangkat di atas kepala dan juga ikut dijepit oleh salah satu tangannya, aku benar-benar tak berdaya.
Dia terkekeh kecil, tetapi kurang ajar sekali lantaran harus kuakui, itu terlihat indah memikat. "Ah, jika jangan di sini, boleh di tempat lain?"
Aku menelan ludah. Sudah pasti ronaku memerah, lantaran daging pipi terasa memanas. Entah mengapa otak sekelebat menjadi bodoh kala berhadapan dengan Pak Direktur, aku tak bisa memilih kata-kata dan perilaku yang sehat. "B—Bukan, m—maksudku—"
Tak selesai kalimat dari bibir, karena Direktur Kim sudah menempelkan ibu jari di sana. "Ssstt ...." Dia menyuruhku untuk diam.
"Ah, masih padat dan kenyal sekali bibir ini." Pak Direktur semena-mena mengusap bibirku dengan ibu jari tadi. Dia semakin berengsek saja saat kemudian memasukkan ibu jari itu ke dalam mulutku dan bergerak maju lantas mundur perlahan, berulang-ulang.
Padahal mulut sedang dilecehkan, tetapi aku malah bergeming tak berbuat apa pun. Alih-alih, mata memejam, meresapi ibu jari yang bergerak maju dan mundur, bahkan lamat-lamat kubalas dengan sesap berhasrat; mengecup dan menghisap.
Rasa kecewa langsung menikam kala ia melepas empu jari dari bibirku, dengan sekejap aku membuka mata memandang.
"Kau bilang jangan di sini, tetapi lubang mulutmu hampir saja menghabisi ibu jariku." Dia terkikik. Bukan hanya daging pipi yang kini memanas, daun telinga terasa terbakar.
Lantaran rasa malu menggeluti, aku mendorong tubuh Pak Direktur sekuat tenaga sejurus dengan denting pintu elevator yang terbuka. Terburu-buru aku keluar dari dalam elevator.
Namun, langkah tersentak kala menyadari bukan lantai satu tujuan elevator membawa kami tadi. Aku mengitari sekeliling bangunan yang dipahat gaya keeropaan. Astaga! Ini lantai dua puluh satu.
Bukan aku yang menekan tombol elevator kala Pak Direktur menahan pintu dengan tangan tadi. Aku bahkan tak sadar lagi ke mana ia membawa lantaran sudah tersentak kaget akan dirinya yang datang menjepit.
Dengan cepat badan berbalik untuk kembali naik ke elevator. Aku harus berada di lantai satu untuk pergi ke kantin dan menikmati makan siang, bukan ke lantai lelaki mesum yag barusan saja melecehkan mulutku.
Namun, Pak Direktur menghadang langkahku yang bermaksud pergi menghindar. "Mau ke mana, Kyung?" ucapnya dengan lembut, membuatku sekonyong-konyong melangkah mundur sejurus dengan ia yang melangkah maju.
"S—Saya harus pergi makan siang, Pak," ucapku terbata-bata. Beruntung sekali dua sekretaris yang biasa menunggu di depan pintu ruangan Pak Direktur sedang tidak ada di tempat. Jika mereka menonton, kelakuan kami sungguh memalukan.
"Kau akan makan siang denganku," ucap Pak Direktur dengan seringai menyeramkan, tampak seperti lelaki bernafsu yang kelaparan.
"T—Tidak. Kumohon Pak, ajak saja Jimin, Model Park, atau siapa pun itu. Kumohon, biarkan saya pergi." Langkahku terhenti saat menabrak konter meja sekretaris di dekat pintu masuk ruangan Direktur Kim.
Ini perusahaan, kami tidak bisa bertindak tidak senonoh di sini.
Pak Direktur tertawa dan datang menjepit lagi. Dia meniup wajahku, membuatku terpaksa menutup mata oleh terpaan napasnya. Aroma napas masih tembakau yang sama seperti yang kucicipi dari bibirnya waktu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...