30. One Day with You

7.1K 723 121
                                    



Helaan napas terdengar berat dari bibirku. Jam di dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas pagi, namun Pak Direktur enggan sekali untuk terbangun dari lelap. Ini semua memang sepenuhnya adalah salah Pak Direktur, dia yang menggagahiku hingga pukul empat dini hari. Dia tak main-main kala mengatakan akan menghancurkanku. Dia benar-benar membuat diriku dan bahkan rumahku berantakan bak kapal pecah.

Aku meniup rambut tipis di atas dahi sembari menggoyang bahunya. "Ayo bangun, Pak Direktur. Apa kau benar-benar tak punya kerjaan lain selain tidur di rumahku?" Ini bukan yang pertama kalinya; sejak aku membersihkan sofa yang berantakan tadi, aku sudah berteriak selantang mungkin membangunkan untuk datang membantuku membereskan kekacauan ulahnya. Namun, ia malah menarik selimut menutupi tubuh tak berpakaian.

Kini hanya tinggal ranjang kami yang berantakan, aku harus membereskan. "Bangun Pak Direktur, atau aku akan—"

Terputus ucapanku lantaran dia malah menarik lengan hingga tubuh terjatuh di ranjang. Dia menggulung dan menjepit tubuhku ke dalam pelukannya. "Kalau aku tak mau bangun, kau akan apa?" Dia masih menutup mata tetapi mulutnya berucap dengan nada khas orang baru saja bangun tidur.

"P—Pak Direktur, Ja ... Jangan!" Aku panik kala tangannya menyusup ke dalam celana piama, dia meraih batang mungil di dalam sana; mengusap lembut hingga perlahan membengkak.

"Jika pagi hari semacam ini, aku ingin sekali merokok." Dia berbisik di daun telinga. "Tetapi, kekasih tercinta melarang untuk menghisap rokok. Dia harus bertanggung jawab."

Aku menggigit bibir bawah. Wajah mulai memerah. Resah tak karuan. Aku benar-benar tak tahu apa sebenarnya pesonaku sehingga Pak Direktur terus menyukai seluruh tubuhku tanpa rasa bosan. Padahal kami sudah melakukan hingga dini hari tadi malam.

"P—Pak Direktur ...." Desahanku kemudian beraturan selaras tangan Pak Direktur yang mengguncang penis di dalam celana. Aku meremas alas ranjang. "Ja ... Jangan, ku ... mohon, dia se ... semakin mengeras," tuturku terputus-putus. Kepala sudah berputar-putar akan perasaan resah yang bercampur kenikmatan. Kendati bibir terus berkata jangan, aku tetap ingin Pak Direktur menuntaskan perbuatannya.

"Ayy! Ahh!" Kakiku menegang dan tertekuk. Tak kuat lagi. Namun, pada saat akan melengking kencang, Pak Direktur menghentikan gerakannya. Aku tersedat, gagal melakukan pelepasan. Kecewa sekali.

"Ke ... kenapa berhenti?" tanyaku dengan napas sumbang padanya yang sudah memutarkan tubuhku hingga telentang.

Pak Direktur naik ke atas tubuhku sembari tersenyum kernyih. "Sudah kubilang aku ingin merokok, Sayang."

"A—aku pun." Ucapanku membuat Pak Direktur mengernyit. "Ayo lakukan enam sembilan?"

Pak Direktur tergelak. "Hei, tadi kau bilang jangan, kenapa sekarang malah ingin gaya itu? Kekasihku susah sekali ditebak."

"Ini semua ulahmu! Aku tak mungkin menjadi jalang jika kau tak memancing." Aku memaling wajah malu-malu.

Pak Direktur mengecup pinggiran bibir. "Kau bukan jalang, Sayang. Kau milikku dan aku milikmu. Hal wajar jika kau menjadi serakah."

Aku kembali menatap wajahnya. Dia tersenyum teduh di atas wajahku. Tampan sekali romannya, aku tak bosan menikmati. Benar, dia milikku dan tak boleh siapa pun memilikinya.

"Jadi? Apa aku boleh menolak jika seseorang meminta dirimu dariku?" Aku mengalungkan tangan di leher Pak Direktur.

Dia mengangguk. "Bagaimana bisa mereka memiliki diriku jika yang kuinginkan hanya dirimu, Sayang? Kumohon percayalah, apa pun yang terjadi aku tetap milikmu dan kau tetap milikku."

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang