Tanganku mengetik pesan untuk kekasih dengan cepat sejurus mobil orang kepercayaan Ayah melaju dengan kencang. Aku ingin menolak tadi, namun dia memberi rasa yakin jika Ayah hanya bermaksud untuk sekedar bicara, tidak berusaha menahanku kembali.
Mobil sudah melaju sekitar tiga puluh menit sejak perjalanan kami dari rumah sewaku. Detak jantungku semakin tak menentu kala mobil yang kunaiki memasuki gerbang besar yang megah, lantas melaju dengan cepat menuju halaman rumah yang besar.
"Ayo Tuan Muda, Presdir sudah menunggu," ucap orang kepercayaan Ayah kala mobil sudah terhenti di hadapan rumah yang besar, rumah ayahku yang enggan kudatangi untuk selamanya.
Aku tak ingin terlalu lama berada di sini sehingga terpaksa dengan cepat aku keluar dari dalam mobil, mengikuti orang kepercayaan Ayah yang membawaku masuk ke dalam rumah.
Dia tidak membawaku ke ruangan Ayah, melainkan lebih masuk menuju halaman belakang rumah.
Ayah berdiri di hadapan pohon ginkgo yang cukup besar yang tertanam sudah lama di belakang rumah kami. Itu adalah milik Ibu, beruntung mereka tak memusnahkannya juga.
Suara cekikik anak kecil terdengar kala aku mendekati Ayah. Di dekat pohon milik Ibu, anak kecil itu berlarian bersama Bibi Yoon, asisten rumah tangga kami.
"Presdir, Tuan Muda sudah datang."
Ayah hanya melirik sejenak mendengar ucapan orang kepercayaannya. Setelahnya, lelaki setengah baya itu meninggalkan kami.
"Ibumu yang menanam setelah delapan bulan umurmu di kandungannya. Jadi, sudah lebih dari dua puluh tujuh tahun pohon ini berdiri di sini. Akan indah sekali di musim dingin lantaran daunnya berubah warna menjadi kuning keemasan dan berguguran. Aku tidak tahu apa artinya, entah mengapa dari semua pohon, ibumu memilih pohon ginkgo."
"Healer," jawabku singkat. Ibu yang menyebutkan masa dahulu. Selain sosoknya yang cantik kuning keemasan, pohon kesukaan Ibu bermanfaat banyak, dapat dijadikan penyembuh berbagai penyakit pula. Ah, jika dipikir lagi, barangkali lantaran Ibu memiliki penyakit keturunan, sehingga ia menyukai hal-hal yang terkait tentang penyembuhan.
Ayah tak menjawab lagi, dia melipat tangannya di belakang punggung sembari tersenyum kecil. Aku tahu itu bukanlah senyum kegembiraan. Entah mengapa di mataku, Ayah terlihat menyedihkan.
"Namanya Do Minsoo, dia baru saja bisa berjalan." Ayah menatap lurus pada anak lelaki yang bercekikik di seberang sana, di bawah pohon ginkgo bersama Bibi Yoon.
"Setelah kau meninggalkan rumah, aku dan ibu tirimu berusaha membuat seseorang yang bisa menggantikanmu." Ayah tersenyum kecut kembali. "Bagaimanapun aku benar-benar Ayah yang jahat, bagaimana bisa aku berpikir mencari pengganti anak kandungku sendiri dengan anak kandungku yang lainnya." Ayah menghela napas berat.
Aku tak berniat menjawab, namun ikut menatap ke arah anak kecil yang bercekikikan sembari berlarian. Ah, dia adikku dari Ibu yang berbeda ternyata. Lucu sekali. Di saat umurku mendekati puluhan yang ketiga, aku malah memiliki adik lelaki sekecil itu.
"Ibunya masuk penjara dan bibinya melarikan diri lantaran tak sanggup menanggung rasa malu kakaknya yang ternyata seorang pembunuh." Ayah terus berucap, namun aku tak mengerti arah pembicaraan. Aku bahkan tak bisa membaca maksud Ayah, entah itu bersedih akan istri yang masuk penjara atau dia marah dan benci lantaran ternyata istri mudanya yang membunuh dan mengacaukan istri terdahulu. Jika harus jujur, aku lebih suka alasan yang kedua.
"Aku yang bersalah. Aku yang mengabaikan ibumu, sehingga aku tak tahu sama sekali apa yang terjadi padanya, apa yang dialaminya, dan apa yang dirasakannya. Aku bahkan termakan rayuan gombal wanita yang lebih muda lantaran rasa kesal mengetahui ibumu yang terkena penyakit AIDS. Aku bahkan jijik dengan wanita yang terkena penyakit semacam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...