48. Memory

5.1K 585 240
                                    



Sudah kukatakan, bohong sekali jika aku selamat ketika mandi bersama. Ah, sebenarnya lubangku masih aman, hanya saja mulut yang harus bekerja keras memuaskan hasrat sang kekasih. Belum lagi aku yang harus menahan pekikan lantaran mulutnya ikut melahap milikku. Aku tak mau suaraku semakin hilang setelah mandi bersama.

Jujur saja, benar-benar memuaskan mandi kami malam ini. Aku menjadi segar sekali, meski lutut sedikit kewalahan.

Setelah selesai mandi, aku mengajak Pak Direktur untuk duduk di ranjang. Sebelum tidur, aku harus mengobati wajahnya yang memar.

"Aw!" rintihnya di sela-sela aku yang mengolesi obat di pinggiran bibir.

"Huh! Kau sih tak bisa hati-hati, apa-apa selalu saja dibalas dengan kekerasan dan main pukul! Kamu benar-benar merusak wajah tampan milikku!"

Padahal aku sedang mengomeli, tetapi dia malah terkekeh sembari terus menatap lekat ke wajahku. Sebenarnya gugup sekali ditatap sang kekasih dengan tatapan dalam semacam itu, tetapi aku berusaha menahan dan tidak memerah begitu saja. Tanganku semakin sibuk melekatkan plester di daging pipinya yang ikut memar.

"Ah, sudah selesai!" Aku tersenyun menilik kembali hasil karyaku.

Baru saja selesai membereskan dan menutup kotak obat, Pak Direktur langsung saja menarik lenganku hingga jatuh ke ranjang dan menggulung tubuhku masuk ke dalam pelukannya.

"Hei, hei, aku harus bereskan dulu kotak obatnya."

Pak Direktur tak peduli, dia malah menendang begitu saja kotak obat-obatan hingga jatuh dari ranjang kami. Aku yakin sekali itu menjadi berserakan.

"Kau ini! Sudah kukatakan jangan pakai kekerasan segala sesuatunya!"

Dia tersenyum begitu saja. "Tapi aku yakin sekali, kau suka milikku yang keras, kan?"

Sekelebat wajah memerah oleh ucapannya. Dia sungguh-sungguh frontal sekali. Kemesuman calon suamiku benar-benar sudah akut, tak bisa diobati lagi. "J—jangan mesum! Ayo tidur!"

Dia menarikku lebih merapat pada tubuhnya, pula menarik selimut untuk menutupi tubuh kami. "Benar, ayo tidur. Besok kita harus pergi pagi-pagi sekali."

Ah, benar. Dia bilang akan memberitahuku jika aku setuju mandi bersama. Namun, tadi aku benar-benar terlena oleh sentuhan liarnya sehingga terlupakan untuk bertanya kami akan ke mana esok hari.

"Kita mau ke mana Pak Direktur?" tanyaku.

"Kau akan tahu besok." Dia malah masih merahasiakan, membuatku berdecak kesal di balik pelukan.

"Kau bilang akan memberitahu jika aku setuju mandi bersama! Kau bahkan sudah melecehkanku selama mandi, tapi aku tetap tak dapat jawaban! Dasar lelaki berengsek!"

Pak Direktur terkekeh oleh ocehanku. Dia juga mengusak gemas suraiku di bawah lehernya. "Kau ini ada saatnya baik sekali, lantas terkadang pula menjadi sangat kuat dengan pukulan-pukulanmu, lalau kau juga bisa sangat pemarah dan pemaksa seperti sekarang ini. Akan tetapi, kau tahu? Dari semua sikapmu itu, tak bisa kupungkiri, semua terlihat menggemaskan di mataku."

Mendadak begitu saja wajahku memanas lantas memerah di dadanya. Aku bahkan tersipu malu dibuat olehnya. "Jangan malah mengalihkan pembicaraan!" Namun, aku berusaha sekuat tenaga menunjukkan jika saat ini aku sedang tidak salah tingkah.

Dia mengecup puncak kepala. "Kita akan ke makam Ibu."

Aku segera saja mendongak untuk menatap kekasihku. Benar saja, aku belum pernah bertemu Tante Min setelah kematiannya, pun kekasihku, dia belum pernah bertemu dengan ibuku.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang