29. Lust [M]

10.1K 696 132
                                    



Aku membuka mata kala Pak Direktur melepas ciuman pada bibir. "Hei? Kenapa?" Suaraku terdengar sengau dengan napas terengah. Padahal wajahku sudah memerah tersirat nafsu birahi yang memuncak, tetapi Pak Direktur malah serta-merta menjauhkan wajah.

"Di mana kau menyimpan lube-nya?" tanya Pak Direktur.

Ah. Benar, lube. Aku lupa jika kami pernah melakukannya dengan lube di rumahku. Sudah terlalu banyak kami berbuat sehingga aku hampir lupa bagaimana cara-cara kami melakukannya selama ini.

Aku mendorong tubuhnya yang menindih dan kemudian beranjak mencari botol lube yang dimaksud. Kalau tidak salah, aku menyimpannya di laci lemari pakaian selepas melakukannya waktu itu.

Setelah menemukannya, aku lantas membuka celana piama sebelum kemudian naik ke atas pangkuan Pak Direktur.

Dia tergelak melihat tingkahku. "Ada apa dengan kekasihku? Malam ini sepertinya ia benar-benar ingin melakukan."

Benar sekali. Waktu lalu dia hanya menyiksa saja sehingga aku tak merasakan nikmat sama sekali. Aku harus melampiaskan hasratku malam ini, tak peduli jika harus lunglai dan hancur.

Aku tak menjawab, alih-alih melumat bibirnya yang kenyal sekali. Pak Direktur bahkan terkekeh di sela-sela lumatan lantaran aku yang terlalu ganas berkelakuan. Tangan pun tak tinggal diam, aku melucuti satu-persatu kancing piama Pal Direktur hingga ia bertelanjang dada.

Masih sangat eksotis sekali tubuh Pak Direktur. Tidak terlalu besar seperti penjaga pintu kamar rawat Nenek, tetapi aku suka otot Pak Direktur; aku masih suka perut yang bergaris tegas.

"Pak Direktur milikku," ucapku melepaskan kecupan.

Dia tersenyum dan mengangguk. "Eum. Semuanya milikmu, Sayang."

Aku girang mendapatkan jawabanku. Bibir lantas kembali beraksi menelusuri lehernya; memberi kecupan, menjilat, dan menyesap hingga memerah, memberi tanda kepemilikan. Aku senang Pak Direktur tak menolak manakala aku menandai dengan bercak merah.

Setelah puas dengan leher, bibir terus berjalan jelajahi dada Pak Direktur, terus turun menciumi dan meraba perut atletis.

Pak Direktur sudah terpancing; tanpa melepaskan kancing, dia langsung saja melepas piama yang kukenakan. Dia bahkan menarik kembali wajahku dan memberi kecupan merajalela di bibir. Aku tersenyum penuh kemenangan. Suka sekali jikalau Pak Direktur serta-merta mendominasi, bukan hanya diam saja.

"Ahh!" Aku memeluk lehernya kala Pak Direktur mulai menjelajahi leher, pula memberikan kecupan dan jilatan di sana.

"Ohh Pak Direktur." Aku menggigit bibir dan menggeliat tak menentu kala ia sudah menjamah puting susu, mempermainkan dengan memilin, menggelitik, dan menggigit ringan.

"He—hentikan!" Aku tergelitik sembari terkikik, geli sekali kala Pak Direktur menjilat perut dan pusar. "P—Pak Direktur, kumohon hentikan!"

Pak Direktur tersenyum dan mengangkat wajahnya. Dia menatap lekat wajahku yang memerah. "J—jangan jilati perut dan pusar, itu geli sekali," ucapku.

"Kau nakal sekali sih."

Pak Direktur mengangkat tubuhku dan mendudukkan di atas sofa. Dia yang tak memakai atasan lagi, berdiri di hadapanku. "Ayo hisap, Sayang."

Aku tersenyum genit meliriknya, sembari menurunkan celana piama hingga lepas sepenuhnya. Pak Direktur telah berpukas, tak tertutup apa pun. Dari semua ketampanannya selama ini; bilamana ia telanjang tak berpakaian, itulah saat ia paling tampan melebihi ketampanan mana pun.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang