Epilog

8.2K 666 133
                                    


Dua tahun pernikahan.




Ingin mengomeli lantaran sang suami sedikit acuh akhir-akhir ini, akan tetapi tak bisa, karena ia melakukan itu semua untuk kehidupan kami. Pekerjaannya terlalu keras akhir-akhir ini, dia bahkan terlalu sering membawa pekerjaan kantor ke rumah kami, memeriksa data-data dari para bawahan bahkan memperbaiki sebisa mungkin di waktu-waktu yang seharusnya menjadi waktu luang ketika berada di rumah.

Ah, ini adalah rekor terbaik. Dia sudah tak menjamah selama hampir dua pekan. Biasanya, dia tak bisa menahan sampai dua hari saja.

Aku yang sudah gatal dan panas. Ingin sekali disentuh Pak Direktur hingga tempat yang terdalam. Ingin merasakan bagaimana ia yang besar mengaduk-aduk di dalam tubuhku. Mendesah dan berteriak penuh nikmat di bawah kendalinya. Apalagi ini adalah akhir pekan, aku harus mendapatkan yang kuinginkan.

"Pak Direktur?"

"Eum?" Dia menjawab singkat, wajahnya bahkan tak menoleh sedikit pun, tetap fokus pada bekas-berkas yang menumpuk yang sedang dibacanya; membuatku berdecak dan lantas berbuat lebih jalang lagi.

"Jongin?" Aku menyusup dan merebahkan kepala di pahanya yang sedang duduk bersila di atas sofa kamar kami sembari membaca berkas-berkasnya.

Dia membalas, namun hanya dengan senyum tipis dan ciuman singkat di bibir. Kemudian, kembali terlena akan berkas di tangan. Aku meniup rambut kecil di dahi akibat rasa kesal.

Akan tetapi, aku tak mau menyerah; tangan mulai nakal menyusup dan meraba perut atletis bahkan perlahan mulai membuka kancing piama tidurnya.

"Sayang, kumohon." Dia mendesah resah.

Aku tak menghiraukan, tangan tetap bekerja di kancing piamanya. "Kau sudah menduakanku dengan berkas-berkas itu."

"Aku sungguh harus menyelesaikan ini."

"Besok adalah akhir minggu, dan kau memiliki banyak hari libur mengingat kau kembali bekerja di hari Senin." Aku lantas tergelak lantaran kancing-kancing itu terbuka seluruhnya. Perut bergaris kesukaan tersibak di depan mata.

"Senin pagi ini harus dirapatkan. Lagi pula kita harus berhasil dengan proyek di Busan."

Aku mencebil manja. "Apa tidak bisa memberi sekali saja?" rengekku. Biasanya ia yang meminta sekali saja, malam ini memalukan. Aku yang menginginkan dan bahkan bersumpah akan membuatnya meminta lebih dari satu kali saja.

Merasa ia hanya bergeming, aku kembali menyerang. Dengan sengaja turun dari pangkuannya dan membuka celana, pula membuka beberapa kancing piamaku. Aku kemudian duduk dan mengangkang di atas ranjang, di hadapan ia yang duduk hikmat di atas sofa dengan berkas-berkas.

"Ahh!" Sengaja sekali tangan mengguncang milikku sendiri, dengan cepat. Aku tahu mata suamiku mulai menjeling, melirik gelisah ke arahku.

"Ahh! Jongin! O—Ohh!" Suara desah semakin lantang. Berharap saja Nenek di bawah sana sudah tidur dan tidak mendengar teriakan laknat ini.

Rona wajah mulai sayu dan memerah. Mulut sengaja menganga dengan mata hampir tertutup, tangan lain meremas alas ranjang, dan dada membusung hebat; berusaha dengan jalang dan gila menggoda suamiku.

"Uhh! Kumohon lebih cepat, Jongin! Ahh!"

"Ouh! Sial!" Dia mengumpat dan membanting sembarangan berkas di tangan. Lantas membuka baju piama dan mendorong tubuh hinggga terhempas di ranjang. Aku bahkan terkikik menindih tubuhku.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang