03. After that Night

10.5K 980 63
                                    


Aku tersentak, lantas mata mengedip berusaha menyadarkan diri dari lelap. Kepala sedikit pusing, ini pasti oleh soju yang kureguk semalam. Lantas, terasa ada beban di atas perutku dan tatkala menengok tangan lelaki yang terlelap di sampingku, memeluk dengan erat. Sontak aku terperanjat. Tanganku dengan semena-mena mendorong tubuhnya jatuh dari atas ranjang.

Suara dentingan botol soju yang berserakan terdengar lantaran tubuh jatuhnya menabrak botol-botol itu. Dia meringis kesakitan sembari mengangkat tubuhnya.

"M—Maaf." Aku menarik selimut untuk menutup tubuh bagian selatan yang terekspos.

"Ah, aku tak apa-apa." Dia meraih celana dalam dan celana jin yang sudah terlempar di atas televisi kamar sewa. Dia juga memakai kaus oblongnya yang tersampir di kepala ranjang. Aku masih terdiam; menoleh apa pun, asal bukan dia yang sedang membenahi diri. Aku tak ingin kelihatan memerah hanya dengan menatap lekuk tubuh atletisnya.

"B—biar aku yang bereskan. Kau bisa kembali ke kamarmu." Aku menghalangi ketika dia akan membereskan botol-botol soju kami yang berserakan. Remah-remah keripik kentang pun mengotori lantai kamar sewaku.

"Ah. Begitu ya. Kalau begitu aku akan kembali." Dia meninggalkan senyuman tipis dari bibirnya sebelum melangkah meninggalkan kamar sewaku.

Aku baru saja akan menghela napas lega, tetapi urung lantaran wajahnya kembali muncul di hadapanku.

"Um ... yang semalam. Terima kasih." Dia menggaruk surainya yang tak gatal. Tampangnya terlihat malu ketika berucap. "Kau ... sungguh hebat." Dia menambah pujiannya.

Aku tak menjawab. Hanya menggigit bibir dan berpaling dari tatapannya karena wajahku sedang benar-benar memanas. Mengingat apa dan bagaimana yang kami lakukan semalam, detak jantungku jumpalitan.

"Baiklah. Kalau begitu ...." Dia melambaikan tangannya dan tersenyum seadanya, karena aku tak menjawab sama sekali. Semoga saja dia mengerti, aku sedang gugup.

Setelah mendengar pintu yang dibuka dan ditutup kembali. Aku meremas kepala, memikirkan kembali apa yang telah kulakukan bersamanya semalaman.

Padahal aku bukanlah tipikal lelaki yang sembarang saja tidur dengan lelaki tak dikenal, tetapi—sialan sekali—harus kuakui dia luar biasa.

___________




Langkahku terhenti kala menangkap lelaki itu bersandar pada dinding lorong kamar hotel. Dandanannya kasual dengan kaus putih yang diselimuti kemeja bercorak kotak-kotak merah, celana jin berwarna hitam sangat cocok berpadu dengan sepatu hitamnya. Tas ranselnya setia menggantung di balik punggung.

Aku mengutuk jantungku yang senewen hanya dengan melihat penampilan sederhana itu. Kepala terus memberi sugesti menyadarkan hati jika dia adalah orang asing. Aku tak bisa serta-merta terjatuh.

Dia mengejar kala aku berjalan terburu-buru melewati. "Apa kau selalu begitu?" Tak menjawab, aku hanya melirik tanpa menolehkan kepala. "Maksudku, setelah melakukan cinta satu malam, apa kau menjadi tak acuh pada teman bermainmu semalam?"

Jika semalam ia tidak dahsyat dan tidak membuatku tertarik, barangkali aku tak akan seperti ini atau mungkin malah menyepelekannya. Lagi pula daripada dikatakan tak acuh, aku ini lebih tepatnya sedang gugup menghadapi dirinya.

"Aku tak pernah bercinta satu malam sebelum-sebelumnya." Aku menjawab terburu-buru.

"Ah benar, kau semalam bilang hanya satu seorang yang kau layani." Dia mengangguk-angguk.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang