Niatan untuk berkeliling sejenak sebelum pulang ke Seoul sudah terabaikan. Tidurku tak nyenyak semalaman, aku bahkan menuntut pada Pak Jeon untuk segera pulang ke Korea. Namun, penerbangan tercepat yang bisa kudapati adalah jam lima pagi.
Langkah kaki gontai menaiki anak tangga rumah atapku. Sejak ucapan lelaki cantik itu tadi malam, perasaanku uring-uringan. Padahal terbesit secuil rasa iba kala menilik bagaimana begitu menyedihkan tanpa kaki sepanjang hidupnya, namun ia malah menuntut untuk merelakan kekasihku serta-merta untuknya. Dia pikir bagaimana aku bisa menyetujui? Bahkan jika ia mengancam dan berniat menukar dengan hal yang lebih melewah dan gemilang, aku tak sudi menyerahkan Pak Direktur-ku.
Aku sudah tak memiliki siapa-siapa yang bisa begitu mencinta selain Pak Direktur seorang. Aku tak akan pernah membagi pada siapa pun.
Langkahku terhenti di anak tangga di bangku rehat yang lebar di depan rumah sewaku. Terduduk sejenak di sana lantas merogoh ponsel untuk menelepon sang kekasih. Aku sudah menelepon semalaman namun ia tak menerima sama sekali, membuat perasaan semakin bertambah campur aduk saja.
"Hai, Sayang? Ada apa?" Suaranya terdengar sengau, khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidur.
"A—aku merindu Pak Direktur," jawabku sembari bergetar. Aku tak bohong, rinduku sekelebat membuncah dan ingin sekali segera bertemu setelah ucapan lelaki lumpuh yang berniat merebut kekasihku. Sekejap saja aku benar-benar takut kehilangan, seketika saja aku ingin ia selalu berada di sampingku.
Kudengar dia terkekeh kecil menanggapi ucapanku. "Aku juga merindukanmu, tetapi aku masih berada di rumah orang tuaku. Semalam A—" Dia menjeda kalimatnya, hanya dua detik sembari kudengar ia mengangkat tubuh untuk bangun, setelah kemudian berucap lagi, "semalam ada rekan lama Ayah yang datang dan pulang cukup larut sehingga aku harus menemani Ayah menyambut dan mengajak berbincang-bincang. Aku terlalu lelah sehingga tak memberimu kabar. Maafkan aku."
Aku tak begitu acuh akan alasan tersebut, yang kuinginkan hanya dirinya sekarang. "Ayo datang ke rumahku. Aku ingin dirimu." Aku menuntut.
"Kau sudah pulang? Bukannya jadwal pulangmu jam sembilan nanti?" Pak Direktur terkesiap di balik telepon.
Aku menggeleng. "Kubilang aku merindu. Jadi, aku pulang lebih awal."
Dia terkekeh di seberang telepon. "Benarkah? Apa ini benar Do Kyungsoo? Kau tidak seperti ini sebelumnya. Biasanya aku yang terus mengejarmu." Pak Direktur mulai berbicara normal, tidak malas-malasan khas seseorang baru bangun tidur seperti beberapa saat tadi.
"Aku tak mau tahu, kau harus berada di rumahku dalam tiga puluh menit. Jika tidak, kita putus saja!"
"Hei, Hei, Sayang. Ada apa dengan dirimu? Apa ada yang menganggu?"
"Eum ... banyak sekali dan sudah kuputuskan aku membenci Jepang. Aku tak akan datang lagi ke sana!"
Pak Direktur terdiam, belum menjawab; cukup lama dan semacam memikirkan sesuatu. Barangkali dia terpaku oleh sikap manjaku beberapa saat lalu atau pula karena hal lain. Entahlah, jelasnya, aku sungguh tak ingin dia menolak datang.
"Baiklah. Tunggu aku, Kyung. Aku akan segera datang untukmu,"
"Aku mencintai Pak Direktur," ucapku serta-merta. Dia terdiam, barangkali sedikit heran lantaran aku tidak pernah semacam ini.
"Aku lebih mencintaimu, Sayang." Dia lantas menutup sambungan telepon.
Aku benar-benar mencintainya, aku bahkan sudah tak sanggup jika ia pergi meninggalkanku. Aku ingin berkata iya ketika ia datang nanti, aku ingin hidup selamanya bersama Pak Direktur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...