24. Agony

7.8K 755 235
                                    




"Oi?"

Pak Jeon membuka dan mengetuk pintu ruanganku. Aku terkesiap kala ia menggoyang tangan menunjuk amplop putih kecil beserta minuman ginseng untuk pertahanan tubuh. Aku dengan segera mendatangi dan menerima pemberian Pak Jeon yang disodorkan.

Aku membuka isi amplop dengan harap-harap cemas. Namun, kemudian mau tak mau senyum tersemat tipis kala membaca isi kertas kecil di dalam amplop pemberian Pak Jeon.

"Ayo menikah!"

Begitu yang tertulis di sana dan aku tahu siapa pelakunya. Apa lagi Pak Jeon baru saja selesai rapat kepala divisi di lantai lima belas. Pasti dia bertemu Pak Direktur di sana.

"Apa kalian pikir ini semacam zaman purba? Menulis surat untuk menyampaikan pesan?" Pak Jeon berdecak dan melipat tangan di dada. "Gunakan ponsel!" Dia berseru kemudian.

Ah, benar. Aku belum punya nomor ponsel Pak Direktur. Selama ini kami selalu saja bertemu secara tiba dan kemudian Pak Direktur menyeret semena-mena.

"Boleh minta nomor ponsel Pak Direktur?" Aku bertanya pada Pak Jeon sembari mengeluarkan ponselku.

Pak Jeon jelas mengernyit. "Kau tidak punya nomor ponsel kekasihmu? Apa kalian benar berpacaran?!"

Aku tersenyum dan mengedik bahu menanggapi ucapan Pak Jeon. "Tak ada hal penting dan tergesa-gesa yang harus dibicarakan di telepon. Jadi begitulah." Aku mengedik bahu lagi. Pak Jeon hanya bisa mendesah sembari mengerling malas, lantas ia membuka ponsel mencari nomor pribadi Pak Direktur.

"Kau dan kru-kru akan ke Jepang sore ini."

Aku terkesiap sembari menyerahkan kembali ponsel Pak Jeon setelah berhasil mendapat nomor ponsel Pak Direktur. "Aku?!" tanyaku meyakinkan. Bisa dihitung jari berapa kali aku masuk kerja di JN, tetapi Pak Jeon sudah memerintah tugas yang seharusnya dilakukan profesional.

"Iya, kau. Do ssi." Pak Jeon menekan ucapannya. "Nanti malam ada festival hanabi di Osaka, kau harus memotret Jimin pada festival itu untuk majalah edisi musim panas cabang di Jepang. Mereka meminta Jimin sebagai model."

"K—kenapa aku?" Bukan tak senang, tetapi terlalu banyak yang profesional di JN, aku bahkan anak baru seminggu.

"Bagaimanapun juga kau harus menunjukkan bakatmu, Kyung. Aku suka gaya memotretmu." Pak Jeon meyakinkan jika memang harus aku yang pergi ke Jepang. "Lagi pula yang lain sedang dengan tugas masing-masing. Terlebih, ini Jimin! Aku tak bisa menyuruh Kak Tae yang pergi!" Pak Jeon berdecak mengakhiri kalimatnya.

Aku tersenyum. "Kenapa Pak Jeon tidak mencari lelaki lain, kenapa harus Taehyung ssi?" Aku bertanya, mengingat cerita bagaimana Taehyung yang menduakan. Aku tak pernah tahu apakah Pak Jeon ataupun Model Park tahu bagaimana Taehyung memperlakukan mereka, namun aku benar tak suka perilaku menduakan. Aku sudah pernah dan itu terlalu sakit.

"Aku tak menyimpang jika tidak dengan Kak Tae, Do ssi," akui Pak Jeon.

"Nah, bukankah itu bagus. Cari kekasih wanita yang cantik, bukankah Pak Jeon tampan?" Aku memprovokasi.

"Lalu kenapa tak Do ssi saja yang mencari wanita? Do ssi pun tampan."

Aku tersenyum dengan kernyit. "Maaf. Aku suka Pak Direktur," bisikku dengan kekeh, membuat Pak Jeon mengumpat kata sialan. Aku semakin terkekeh saja mengiringi kepergian Pak Jeon dari dalam ruanganku.

Setelah Pak Jeon menghilang di balik pintu, aku segera merogoh ponselku kembali dan kemudian menelepon Pak Direktur. Semoga saja ia sedang tak sibuk.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang