26. Piqued [M]

8.2K 719 104
                                    



Kilatan mata memendam amarah, terlihat sama seperti hari itu di mana ia melakukan dengan kasar dan kering di sofa ruangan kerja lantai dua puluh satu.

Sore ini aku pun khawatir. Dia terus diam di dalam mobil yang melaju kencang, dia bahkan berjalan lebih dulu memasuki rumah apartemen tanpa menunggu langkahku yang terburu-buru mengejar. Kendati begitu, aku tetap mengikuti; duduk pasrah di atas ranjang menunggui dirinya yang membuka seluruh pakaian.

Kutahu, ia akan melakukannya sore ini.

"Pak Direktur, jangan sakiti aku. Kumohon," ucapku kala ia mulai mengikat kedua tangan dengan sebuah ikat pinggang yang ia kenakan tadi. Pak Direktur sama sekali tak mendengar rengekanku, dia malah dengan kasar membuka celana yang kupakai setelah berhasil mengikat tangan.

"Kumohon jangan!" Aku semakin khawatir kala ia mendorong tubuh hingga berbaring telentang, membuka paha dengan lebar, dan meraih batang penisku untuk diikat dengan dasinya bersama kedua buah pelirku.

Pak Direktur selalu saja seperti ini, kala amarah memuncak. Dia akan melakukan dengan kasar. Sadis. Tanpa belas kasihan.

"Kau tahu aku menolak kata jangan di saat seperti ini, Kyung," ucapnya dengan wajah sangat dingin. Mencekam.

"Ahh!" Kala sudah selesai dengan ikatan-ikatan di seluruh tubuhku. Pak Direktur mulai mendorong kedua jemari masuk ke dalam lubang. Beruntung ia memoles dengan minyak lube terlebih dahulu. Meskipun tubuhku sudah terikat, bersyukur sekali ia tak berniat melakukan dengan sangat kering seperti kala itu.

"Akh! Akh!" Aku memekik terus-menerus lantaran jemari Pak Direktur bergerak cepat namun sengaja tak mengenai titik prostat di ujung lubang. Aku frustasi. Apalagi kala batang penis perlahan menjadi membesar dan tegang namun tertahan ikatan dasi Pak Direktur. Dia tidak melakukan dengan kasar, namun tetap saja aku merasa tersiksa. Aku ingin Pak Direktur menyentuh tempat kesenanganku.

"K—kumohon, Pak Direktur jangan begitu." Aku masih mendesah teraniaya, lantaran hanya ngilu yang disusul sedikit rasa menggelitik, tanpa ada rasa nikmat yang seperti biasa. Aku paham sekali jika ia sudah tahu di mana tempat nikmat itu, namun ia enggan memberi lantaran rasa kesal padaku masih membuncah.

"M—Maafkan aku, Pak Direktur. Aku bersalah, tetapi kumohon beri ak—ARGH!" Akhirnya dua jemari menabrak tempat yang tepat.

"Ahh! Ahh!" Aku lantas terentak-entak oleh gerak tangan yang masih cepat. Mata memutar meresapi rasa nikmat.

Namun, perlahan-lahan rasa nyeri itu datang di sekitar batang penis. Aku ingin memuntahkan cairan kenikmatan, tetapi ikatan dasi itu membuat sesak dan sakit. "P—Pak Direktur, aku ingin keluar," rengekku sembari menggigit bibir. Pak Direktur terus-terusan menusuk lubang dengan jari jemari.

"Kumohon, aku ingin keluar!" Aku memekik, meminta ia mengerti jika aku akan mencapai orgasme oleh gerak tangan yang terus menumbuk prostat. Aku ingin ia melepas ikatan, namun Pak Direktur telah tuli, ia tak peduli sama sekali.

"A—aku keluar! Ak—ARGH!"

Tubuhku bergetar, mata sayu memutar, mulut menganga dengan napas cekat. Nikmat sekali, namun perihnya tiada tara. Kala melirik batang penis yang terikat, itu memerah padam tanpa mengeluarkan sedikit pun cairan sanggama. Aku mencapai klimaks yang kering.

Ini pertama kalinya. Tak pernah sebelum ini aku berorgasme tanpa mengeluarkan cairan. Ingin menangis tetapi percuma; seperti hari itu, Pak Direktur tak akan peduli sama sekali.

Dengan pandangan yang berkunang-kunang, bisa kurasakan Pak Direktur datang mendekat setelah melepas kedua jemari dari dalam lubang.

"Pak Direktur maafkan aku. Kumohon biarkan aku menjelaskan—AKH!"

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang