Ini sudah hari ketiga sejak aku menyuruh Pak Direktur pulang ke rumah orang tuanya. Benar apa yang Pak Direktur katakan, terlepas dari rasa senang Ibu Presdir mengetahui siapa diriku, aku seharusnya menyesal menerima telepon tiga hari yang lalu.
Imbasnya terlalu besar. Pak Direktur bahkan tak memiliki waktu untuk kuhubungi. Beberapa kali mengirim pesan, Pak Direktur hanya menjawab singkat. Aku benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi perilaku Pak Direktur membuat hasratku ingin menguak lebih dalam.
Bukan hanya enggan dihubungi, Pak Direktur bahkan tak terlihat sama sekali di perusahaan selama tiga hari ini. Kami tak pernah berpapasan, dia juga tak cuma-cuma datang ke ruanganku seperti hari-hari kemarin.
Sudah terlalu biasa dengan jam makan siang yang diusik Pak Direktur, tetapi kali ini aku menjadi tak bersemangat lantaran sang kekasih benar-benar sedang sibuk dengan urusan sendiri.
Kuputuskan untuk pergi menemui Nenek saja di saat jam makan siang. Aku membeli semangkuk sup tulang sumsum dan dua porsi kimbab untuk dimakan bersama Nenek.
Seperti biasa, Nenek sedang menonton televisi saat aku datang mendekati. Memang tidak ada yang bisa Nenek kerjakan di dalam kamar rumah sakit. Pak Direktur waktu itu pun sudah melarang Nenek untuk berkeliaran tanpa dikawal lantaran Nenek masih dalam keadaan riskan.
"Kau tidak datang bersama Jongin?" Itu yang pertama kali Nenek tanyakan kala aku menarik kursi untuk mendekati ranjang Nenek dan membongkar menu makan siangku.
"Jongin sibuk, Nek. Lagi pula, kau seharusnya senang melihatku datang bukan malahan sedih lantaran aku tak membawa Jongin!" Aku berdecak mengomeli. Padahal Nenek baru beberapa kali bertemu, tetapi dia sudah manja sekali bersama Pak Direktur.
Nenek tersenyum dan mengusak rambutku. "Hidupmu sudah terlalu sengsara sejak ibumu meninggal. Aku benar-benar berharap kau bahagia dengan Jongin, sehingga jika aku tiba-tiba meninggalkan dunia, aku bisa tenang karena sudah ada yang bisa menjaga dan melindungi dirimu."
Aku menatap Nenek, meraih telapak tangan yang mengusak rambut dan memberi ciuman di telapak tangan. "Aku akan bahagia, Nek. Dan, Nenek tidak akan pernah meninggalkanku secara tiba-tiba karena aku akan selalu melindungi. Nenek hanya akan pergi jika Tuhan sudah menghendaki."
Nenek tersenyum, kemudian aku mendekati sup tulang sumsum kesukaan Nenek. "Sekarang makanlah."
"Aku merindukan sup tulang sumsum ibumu."
Aku tersenyum. "Ibu juga pasti merindukan kita, Nek."
Aku baru saja menelan dua iris kimbab saat ponsel di saku celana bergetar. Mata membulat kala melihat siapa yang menelepon di jam makan siangku.
Park Chanyeol.
Aku menelan ludah. Setelah dia mengkhianati, aku benar-benar mengabaikan panggilan teleponnya. Namun, kali ini adalah hal yang berbeda. Dia yang sudah menemukan Nenek. Meski sudah berterima kasih selintas, aku belum memberitahu jika Nenek sudah dipindahkan ke Seoul. Aku juga belum minta maaf akan kekasaran kekasihku beberapa waktu lalu.
Aku beranjak dari tempat duduk untuk menjauhi Nenek bermaksud menerima telepon mantan kekasih.
"Hi, Chan?"
"Oh, syukurlah! Akhirnya kau menerima telepon dariku!" Suaranya terdengar riang dari balik telepon.
"Maaf, aku tak menghubungi."
"Ah, itu bukan masalah besar, Kyung. Oh ya, aku menemukan tempat yang tepat untuk memindahkan Nenek ke Seoul."
Aku terdiam. Cukup lama tidak memberi respons untuk ucapannya. Sedikit bingung bagaimana memulainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Our Symphony
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love. This story contains some sex scenes in detail, unappropriate words, and uneducated manners. Do not read if you're underage! Kyungsoo tak sengaja bertemu dengannya kala tertinggal kapal feri yang akan ditumpangi...