28. On a Date

7.2K 735 175
                                    



"Berhenti mondar-mandir, Kyung. Kau membuat Nenek bingung!"

Nenek mengomeli, barangkali karena dari tadi aku terus berjalan tak tentu arah dan gelisah di hadapannya. Aku bahkan mengganggu Nenek menonton drama pagi kesukaan.

Ini semua karena Pak Direktur. Dia bilang akan pergi kencan, dia bahkan berjanji untuk datang pukul sembilan pagi. Sebentar lagi pukul sembilan, namun ia belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku bahkan sudah berdandan sejak pukul tujuh tadi; badan yang wangi menjadi tak wangi lagi, pakaian yang rapi menjadi berantakan kembali.

Beberapa hari ini Pak Direktur kerap kali pulang ke rumah orang tuanya. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di rumah orang tua Pak Direktur lantaran aku tak pernah punya keberanian bertanya, tetapi ada sedikit rasa khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi.

"Jika Jongin bilang akan datang pukul sembilan, maka ia akan datang pukul sembilan. Kau seharusnya percaya dengan ucapan kekasihmu!"

Mata membeliak ketika mendengar omelan Nenek. Bagaimana dia tahu Pak Direktur akan menjemput jam sembilan? Padahal semalam kami berucap bisik-bisik di dekat pintu masuk saat ia berpamitan pulang. Terlebih, bagaimana Nenek tahu jika Pak Direktur adalah kekasihku?

Aku duduk di sisi ranjang Nenek. "B—bagaimana Nenek tahu?" aku bertanya tergesa-gesa.

"Tahu apa?" ucap Nenek sembari mengunyah buah kesemek yang Pak Direktur beli kemarin.

"Jika Pak Direktur yang akan menjemput jam sembilan? Bagaimana Nenek tahu jika dia adalah k—kekasihku?" Aku lantas menelan ludah menunggu jawaban Nenek, sekelebat rasa khawatir menggeluti.

"Jongin yang meminta izin pada Nenek untuk hidup bersama dan menjagamu selama hidupnya, ketika kau pergi keluar kamar kemarin sore untuk membeli camilan."

Mata membulat tak percaya. "L—lalu Nenek jawab apa?!"

"Meski Nenek sudah tua, Nenek tidaklah bodoh. Bagaimana bisa menolak seseorang yang baik untuk cucuku sendiri? Apalagi dia terlihat tulus merawat diriku."

Nenek benar. Terkecuali perilaku bengis kala amarah memuncak, sepenuhnya Pak Direktur adalah lelaki idaman. Nyaris sempurna untuk diriku yang tak memiliki apa-apa.

"J—jadi Nenek merestui jika a—aku menikah dengan Pak Direktur?"

"Aku merestui jika kau berhenti manja dan keras kepala, berhenti pula merepotkan dan menyusahkan hidup Jongin! Percaya padanya dan sayangi dia."

Aku berdecak. Sebenarnya yang cucu Nenek itu aku atau Pak Direktur? Kenapa Nenek lebih membela direktur mesum dan sialan itu?

Aku baru saja akan menjawab kala pintu kamar rawat Nenek dibuka. Pak Direktur datang mendekat dengan senyuman.

Wajahku memerah kala melirik penampilannya. Sangat kasual sekali, dengan celana jin hitam dan baju berlengan panjang yang hitam pula. Rambutnya tersisir rapi ke belakang dan kaca mata hitamnya menambah pesona tampan yang memabukkan.

"Selamat pagi, Nek." Dia menyapa Nenek terlebih dahulu. "Sudah makan?" tanya Pak Direktur kemudian.

Nenek menggeleng sembari menunjuk mangkuk bubur di atas nakas. Padahal aku sudah paksa menghabiskan, tetapi dia bersikukuh ingin makan bubur buatan Pak Direktur setelah makan satu dan dua sendok bubur pemberian rumah sakit.

"Ayo makan bubur sayuran buatan Jongin." Pak Direktur membongkar bawaannya di meja ranjang yang khusus untuk tempat makan pasien.

"Serius, kau yang buat?" Aku tak yakin. Hari kemarin saat aku yang masuk rumah sakit, Ibu Presdir yang membuat. Terlalu memalukan jika kali ini ia meminta tolong Ibu Presdir lagi.

Bittersweet Our Symphony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang