Prolog

55.7K 2.4K 79
                                    

Warning!!

Cerita ini diketik dengan sistem kebut tingkat dewa dalam waktu cuma sebulan dan langsung tamat.

So, kalian pasti bakal nemu banyak typo, puebi amburadul, dan banyak kata yang enggak sesuai kbbi karena aku tulis dan langsung update tanpa revisi-revisi.

Semoga hal itu enggak ganggu, ya. Aku belum berniat buat revisi total cerita ini karena masih ada cerita yang lagi aku tulis. Kapan-kapan aja kalau udah santai.

Happy reading!

***

"Gue pengen lihat warna langitnya." Stella tersenyum sembari mendongak ke atas. Mencoba melakukan hal yang sia-sia, sebab bagaimanapun warna langit, yang Stella lihat selalu berupa kegelapan.

"Secepatnya, lo pasti bisa liat lagi warna-warna langit," ucap laki-laki di samping Stella. Suaranya begitu pelan, sedikit tidak terdengar karena teredam hujan.

Stella masih tersenyum. Tangannya terasa hangat dalam genggaman laki-laki di sampingnya. Laki-laki inilah yang selalu ada bersamanya di saat Stella benar-benar tenggelam dalam kegelapan. Ia datang sebagai cahaya, menariknya keluar dari kegelapan yang nyaris membuatnya menyerah untuk melanjutkan hidup.

Selama Stella buta dan tidak bisa berjalan, hanya laki-laki ini yang selalu ada bersamanya. Ia menemaninya, merawatnya, dan menjaganya selalu. Selama ini, laki-laki di samping Stella telah berkorban banyak waktu dan tenaga untuknya. Stella amat berterima kasih pada sosok yang sedang menggenggam tangannya saat ini, karena ia sudah bersedia menjadi mata dan kaki untuk Stella selama berbulan-bulan.

"Terima kasih," ucap Stella pelan.

Laki-laki di samping Stella tidak menjawab. Setengah tahun lebih bersamanya membuat Stella mengerti dan terbiasa dengan tabiat laki-laki di sampingnya yang memang sangat irit sekali berbicara. Ia hanya akan membuka suara saat Stella terlalu banyak bertanya mengenai ini itu. Irit berbicara pun tidak apa-apa, karena hanya dengan tindakannya saja, laki-laki di sampingnya sudah sangat berarti untuk Stella.

"Terima kasih karena lo selalu ada buat gue di saat kondisi gue benar-benar enggak berguna," ucap Stella lagi.

Tidak langsung ada jawaban dari lawan bicaranya, tapi Stella bisa merasakan lelaki di sampingnya mempererat genggamannya pada tangan Stella.

Hening. Hanya suara hujan mendominasi. Malam ini mereka sedang berada di luar balkon kamar Stella. Seperti malam-malam biasanya, laki-laki ini selalu datang lewat jendela, menemaninya semalaman sembari menggenggam tangannya hingga Stella tertidur. Saat Stella masih di rumah sakit, laki-laki ini juga selalu melakukan hal serupa. Bedanya saat di rumah sakit ia datang melewati pintu, tidak dengan cara memanjat hingga menerobos jendela kamar Stella.

"Harusnya gue yang berterima kasih. Karena elo udah membiarkan gue untuk selalu ada di deket lo."

Kali ini Stella diam. Ia tidak mengerti.

"Lo selalu bilang lo beruntung karena ada gue, tapi yang sebenarnya beruntung itu gue. Gue beruntung, karena bisa ada di deket lo dan berguna buat lo, Stella."

Stella tersenyum canggung. "Gue enggak ngerti maksud ucapan lo apa ...."

"Enggak apa-apa. Gue paham lo emang enggak peka," ledeknya.

Stella tertawa kecil. Malam ini laki-laki di samping Stella mendadak aneh.

"Tumben, malam ini lo jadi banyak bicara. Biasanya gue harus ngoceh sampe berbusa baru lo mau ngomong satu kalimat pendek."

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang