"Lo pulang sama siapa, La?""Kakak," jawab Stella langsung.
Keduanya baru saja keluar dari kelas 12 IPA 7, mereka sedang berjalan menuju lift. Keuntungan Stella bersekolah di Pranata adalah adanya salah satu fasilitas ini. Ia tidak perlu repot dan capek-capek naik tangga dengan kondisi kakinya yang masih belum pulih total.
Memasuki lift, Stella sempat beradu pandang dengan sosok yang berdiri paling belakang dengan kedua telinga tersumpal earphone putih, Rigel lagi. Rara tidak menyadari keberadaan Rigel dalam lift, ia diam saja dengan tampang bosan hingga mereka sampai di lantai dasar dan pintu lift terbuka.
Saat keluar dari lift, Stella dan Rara di hadang oleh teman sekelas mereka-Aldi yang terlihat capek dengan napas tidak beraturan.
"Eh, Stella. Gue boleh bawa si Rara 'kan?" tanya Aldi.
Stella melirik Rara, wajah gadis itu ditekuk masam. "Boleh kalau Rara-nya mau," jawab Stella.
"Ra please, gue mau ngomong," pinta Aldi nelangsa. Stella tidak tahu ada apa antara dua teman kelasnya, Aldi dan Rara.
"Yaudah buruan!" ketus Rara. Ia beralih pada Stella lalu berkata, "La gue pergi duluan sama si Kuman ya, dadah."
Stella tersenyum, malembai pada Rara yang mulai melangkah pergi dengan Aldi. Stella melanjutkan langkahnya menuju gerbang, rupanya ia tidak berjalan sendirian, ada langkah kaki lain di sampingnya. Menoleh, Stella lagi-lagi mendapati wajah dingin Rigel dalam pandangannya.
"Balik sama siapa?" tanyanya tanpa menoleh. Rigel menatap ke depan, fokus berajalan.
"Kenapa? Mau ngajak gue balik bareng?" tanya Stella iseng sambil tertawa canggung.
"Kalau lo mau."
Gila! Beneran? Padahal gue nanya bercanda.
"Mungkin lain kali, hari ini gue pulang dijemput Kakak," tolak Stella halus.
"Oke, lain kali."
Stella hanya tersenyum kecil mendengar suara hambar Rigel. Hening lagi, tidak ada pembicaraan yang berlangsung. Mereka berpisah di parkiran, Rigel berbelok memasuki parkiran, sementara Stella terus berjalan menuju luar gerbang.
Di parkiran, saat Rigel hendak masuk ke dalam mobilnya. Seorang menepuk bahunya, membuat Rigel langsung menoleh dan memberikan ekspresi dingin yang sudah mewakili kalimat tanya.
"Lo kesambet apaan bawa mobil mewah lo ke sekolah? Biasanya lo paling anti bawa mobil dan lebih suka ke mana-mana pake motor kesayangan lo," cerocos orang yang menepuk pundak Rigel.
"Ada apa?" tanya Rigel langsung. Malas meladeni ocehan manusia di hadapannya.
"Oh itu, lo dipanggil Bu Sukma, disuruh ke ruangannya."
Rigel tidak menyahut. Ia menoleh ke luar gerbang, melihat Stella masih berdiri di sana.
"Lo liatin dia sampai dia pergi," titah Rigel pada lawan bicaranya.
"Cewek yang pincang itu?" tanyanya heran. "Ngapain dah lo nyuruh gue liatin itu cewek cacat?"
"Omongan lo enggak enak di denger," ujar Rigel dingin.
"Oh sorry," ucapnya menyesal, ia menyadari perubahan aura Rigel yang tidak menyenangkan.
Rigel mulai melangkah meninggalkan temannya itu. "Namanya Stella, tugas lo cuman liatin dia sampai gue balik lagi."
Laki-laki itu berdecak. Ia menuruti saja perintah dari Rigel untuk memperhatikan gadis yang sedang berdiri di luar gerbang sendirian.
Di luar gerbang, Stella yang mulai bosan menunggu terus menghubungi ponsel kakaknya. Sudah beberapa kali ia hubungi, tapi kakaknya tidak juga mengangkat panggilan Stella. Hingga panggilan kesebelas, barulah seorang di seberang sana menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Kecelakaan yang dialami Stella membuatnya merasa berada di dasar terendah dalam hidup. Saat itu, Stella membenci hidupnya. Ia juga teramat membenci dalang dari hilangnya pengelihatan dan fungsi satu kakinya. Na...