BAB 39 ー Hujan dan Sebuah Kesempatan

12K 1.1K 25
                                    

[SELAMAT MEMBACA, SEMOGA SUKA!]
***

Bara mendadak kesal karena malam ini hujan juga mendadak turun. Untung saja ia sudah menyiapkan tenda sehingga mereka tidak perlu repot-repot pulang hanya karena hujan turun tiba-tiba. Ia tidak mau hanya karena hujan rencananya malam ini gagal.

"Dingin?" tanyanya pada Stella.

"Lumayan," jawab Stella diiringi senyum simpul.

Bara membuka jaketnya dan ia pakaikan pada Stella. Perlakukan Bara dengan tampang tenang dan tanpa ngomel seperti itu benar-benar membuat Stella tidak bisa menahan diri untuk tersenyum karenanya. Manis sekali, batin Stella.

"Makasih," ucap Stella canggung.

Bara tidak menjawab, ia hanya memandangi Stella lekat-lekat. Stella yang dipandangi seperti itu mulai merasa wajahnya memanas, ia mengalihkan pandangan dengan salah tingkah.

Bara dan Stella duduk bersisian di dalam tenda. Stella menekuk lututnya lalu ia peluk dengan erat. Keduanya saling diam dalam keheningan, hanya suara hujan yang mendominasi di antara keduanya. Karena tidak ada yang kunjung bersuara, keduanya mulai tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Bara mulai memikirkan dan menebak-nebak suasana hati Stella karena tadi gadis itu mendadak terlihat muram, sementara Stella mulai memikirkan hal-hal random seperti keadaan Aldi dan Andre saat ini, tentang Rigel lagi, mengenai perasaan Bara padanya, dan tentang perasaannya sendiri.

Ada banyak hal yang masuk ke dalam pikiran Stella sekarang, tapi tentang Bara agaknya sedikit lebih mendominasi saat ini. Sebuah usapan lembut dikepalanya tiba-tiba saja ia rasakan, Stella menoleh dan mendapati Bara yang tengah mengusap kepalanya.

"Permintaan gue sulit, ya?" tanya Bara pada Stella.

Stella diam sesaat, ia kembali teringat pada syarat yang diajukan Bara tadi, tentang secepatnya mengeluarkan Rigel dari hatinya. Itu memang sulit, dan tidak bisa instan ia lakukan. Hari ini patah hati, besoknya sudah menemukan pengganti. Stella tidak bisa secepat itu. Jika ia langsung menemukan pengganti pun, tentu saja patah hati bekas Rigel itu tidak bisa langsung hilang dengan satu kedipan mata.

Mengembuskan napas, dengan senyum Stella menjawab, "Enggak bisa secepat itu, Bara. Move on enggak gampang buat gue."

Bara mengangguk kecil, ia menurunkan lengannya dari kepala Stella. Ekspresi wajahnya tidak jelas menggambarkan emosi apa saat ini, dan Stella dibuat bertanya-tanya mengenai perasaan Bara sekarang bagaimana.

"Harusnya gue tahu itu," ujar Bara hambar.

Hening lagi. Bara mulai berpikir apa yang harus ia ucapkan pada Stella saat ini, ia harus hati-hati, ia tidak mau sampai kejadian yang dihindarinya terjadi lagi.

"Bara," panggil Stella pelan tanpa menoleh pada Bara.

"Apa?"

Stella diam, tidak langsung menjawab lagi. Ia memandang lurus ke depan, seperti sedang menerawang sesuatu.

"Tapi gue bakal coba itu. Maksud gue ... pelan-pelan gue pasti bakal coba buat lepasin Rigel, tentu saja, gue sendiri juga enggak mau terus-terusan kesiksa sama perasaan gue buat Rigel yang enggak ilang-ilang. Gue enggak tahu waktu yang gue butuhkan berapa lama buat bener-bener lupa dan lepasin Rigel sepenuhnya, gue enggak tahu berapa lama hati gue akan tiba di fase baik-baik aja." Stella diam sesaat, mengambil jeda, Bara menunggu dengan tenang.

"Dan ... selama waktu yang gue butuhkan itu, gue mau lo terus ada di sisi gue, tetap jadi temen gue kayak gini."

Bara mencerna ucapan Stella, setelah menemukan ke mana arah kalimat itu, Bara pun tersenyum kecut.

"Tetep jadi temen?" tanya Bara miris.

Stella diam lagi sesaat, ia sibuk mengatur hati dan pikirannya, ia tidak mau sampai salah langkah.

"Bara ... gue tahu dari Verona kalau lo suka sama gue. Gue enggak keberatan dengan itu, dan sejujurnya gue juga seneng tahu hal itu. Tapi ... untuk sekarang, kita temenan dulu enggak apa-apa, ya?" tanya Stella lembut dengan senyuman tulus.

Bara ingin mengupat dan meneriaki Verona saat ini juga karena telah membocorkan soal perasaan dirinya pada Stella. Ia bahkan belum menyatakan suka pada Stella secara langsung, tapi gadis itu sudah menolaknya duluan. Ingin rasanya ia berlari keluar tenda, membelah hujan, dan lompat dari rooftop sekarang juga. Ditolak sebelum nembak itu rasanya ... ternyata sakit juga saudara-saudara.

"Gue udah ditolak sebelum nembak," guman Bara miris.

"Gue enggak mau lo malah kecewa sama gue, Bara. Gue masih belum bisa lepas dari Rigel, dan gue enggak mau malah bikin lo kecewa atau sakit hati atau apalah itu nantinya. Gue mau lepasin Rigel dan perbaiki hati gue yang hancur dulu sebelum gue buka hati untuk orang lain lagi. Gue enggak mau cuman jadiin lo pelampiasan sementara hati gue yang hancur ini masih tertuju pada Rigel, Bar."

Bara mengangguk. "Ya, gue ngerti," ucapnya pasrah saja.

"Kalau saat itu tiba, saat di mana hati gue udah pulih dari luka yang dikasih Rigel, saat itu gue akan mencoba untuk masukin lo ke dalam hati gue."

"Lo kasih gue kesempatan untuk milikin lo, La?"

"Iya, gue rasa emang cuman lo yang berhak dapet kesempatan itu, Bara. Lo udah suka sama gue dari bertahun-tahun yang lalu bukan? Bahkan sampai sekarang lo masih suka gue, ya?" Stella tersenyum tulus, tidak mengejek sama sekali terhadap perasaan Bara yang sudah ada sejak lama untuknya itu.

"Lo udah terlalu lama suka sama gue, dan gue merasa perlu membalas perasaan lo itu. Pelan-pelan gue yakin pasti suka sama lo, karena sekarang pun setitik perasaan nyaman dan suka itu udah ada. Tapi, seperti yang gue bilang sebelumnya, gue butuh waktu untuk buka hati sepenuhnya. Semoga sampai saatnya tiba, lo masih tetep punya perasaan untuk gue, ya."

Bara tersenyum sekarang. "Gue bakal nunggu, dan gue bakal terus yakinin lo kalau gue emang pantes lo balas perasaanya."

"Bantu gue ya," pinta Stella lembut. "Bantu gue buat cepet sembuh dari patah hati karena Rigel."

Bara malah mengacak-acak rambut Stella gemas. Ia terkekeh kecil, hatinya senang karena Stella sudah berjanji akan membuka hati untuknya nanti. Bara senang karena ia akan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan Stella seutuhnya, walau ia harus menunggu sampai gadis itu pulih dari patah hatinya dan mengeluarkan sosok Rigel dari hatinya.

"Lo enggak usah minta, gue bakal dengan senang hati bikin lo cepet move on dari muka tembok itu," ujar Bara kembali ke sikap aslinya.

"Lo harus sering-sering perlakuin gue dengan manis kayak gini dong, biar gue bisa cepet-cepet jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama lo dan lekas move on dari Rigel," ujar Stella lebih santai. "Obat patah hati paling ampuh itu 'kan dengan adanya orang baru."

"Sayangnya, gue orang lama tuh."

"Enggak usah khawatir, lo akan jadi orang baru di hati gue nantinya," ujar Stella ringan.

Bara tersenyum geli mendengar kalimat Stella, ia sangat senang tentu saja. Stella sudah memberikan janji untuk dirinya, tugasnya saat ini hanya membuat Stella cepat-cepat jatuh cinta padanya dan bisa melupakan Rigel secepatnya.

"Gampang banget ya, ngomongnya," ledek Bara.

"Enggak tahu juga, ya, Bar. Entah kenapa, sesuatu dalam diri gue ngerasa yakin begitu aja kalau nantinya gue bakal move onnya ke elo," ujar Stella bingung sendiri. "Padahal siapa tahu nanti gue malah ketemu cowok yang gantengnya setara Sehun dan dia deketin gue terus berhasil bikin gue lebih cepat move on dari Rigel."

"Enak aja! Itu cowok bakal gue bikin mati duluan sebelum lo sempet tahu dia hidup di dunia," ketus Bara.

"Kok elo jadi posesif gitu sih? Pacar aja bukan!"

"Otw," sahut Bara enteng.

Stella hanya mengeleng kecil sambil memandang Bara takjub.

***

AN:
Ah gue enggak sanggup berkata-kata dengan pasangan ini 😔 kayaknya absurd banget ini dua orang kalau jadi suami istri eh pasangan kekasih deh.

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang