***Pukul 10.47 malam, Bara baru sampai di rumahnya. Setelah diomeli maminya sebentar, Bara langsung naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk. Memejam sebentar, Bara menghela napas lelah kemudian.
Kelopak matanya pun terbuka, iris mata berwarna kecokelatan miliknya manatap ke langit-langit kamar. Berpikir sebentar, tangannya lalu merogoh ke saku jaket, mengeluarkan benda yang selalu ia bawa ke mana-mana. Benda itu sebuah kalung dengan bandul berbentuk bintang, sangat indah.
"Dia udah punya yang baru. Itu artinya ... dia udah enggak berharap kalung ini balik." Bara terus menatapi bandul berbentuk bintang itu lekat-lekat.
***
Hari ini, Stella merasa ada yang aneh sedari pagi. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya terus, tapi setiap kali Stella menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa di sana. Entah itu hanya perasaanya atau memang benar ada yang sedang mengikutinya tapi tidak nampak.
"Kenapa sih, La? Lo kayaknya tegang banget dari tadi." Rara menatap heran pada Stella yang terus bergerak gelisah dan menoleh ke belakang beberapa menit sekali.
"Ra, kok gue terus ngerasa ada ngikutin, ya. Dari pagi loh gue ngerasa ada orang di belakang gue, tapi pas gue tengok enggak ada siapa-siapa. Serem sumpah," ujar Stella masih dengan kegelisahannya.
"Lo abis nonton film horor, ya?" tebak Rara.
Stella menggeleng. "Enggak, Ra."
Rara menoleh ke belakang, mencoba mencari sosok yang mencurigakan. Namun, tidak ada siapa-siapa di belakang mereka saat ini.
"Enggak ada siapa-siapa, La. Perasaan lo doang deh."
Stella sekali lagi menoleh ke belekang, tetap tidak ada siapa-siapa. Koridor yang mereka lewati saati ini sepi, sebab kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Kelas 12 IPA 7 kebetulan sedang tidak ada guru yang mengajar, jadi Rara dan Stella memanfaatkan waktu kosong itu untuk pergi ke ruang TU. Rara ingin membayar uang bulanannya, sementara Stella hanya mengantar karena uang bulanannya sudah diurus bunda.
"Atau mungkin ... lo masih parno gara-gara kemarin di kerjain tiga ondel-onedel biadab itu, ya?" tebak Rara.
Stella tersenyum simpul. "Soal itu ... gue udah enggak apa-apa kok Ra," dusta Stella. Ia tidak mau membahas dan mengingat-ingat hal itu lagi.
Rara memandang Stella sedih. Merasa bersalah karena saat itu meninggalkan Stella dan lagi-lagi membuat Stella berurusan dengan tiga siswi paling menyebalkan di Pranata.
"Maafin gue ya, La. Gue ga guna banget sih jadi temen," ujar Rara sedih.
Stella yang merasakan kesedihan Rara mencoba menetralkan suasana dengan kekehan pelan.
"Udah, santai aja sih. Gue udah enggak apa-apa," tutur Stella dengan ceria.
"Maafin gue." Rara memohon dengan wajah nelangsa.
"Iya Rara, gue maafin. Lagian apa sih salah lo? Enggak ada juga," sahut Stella diiringi tawa kecil.
"Salah gue itu ...."
"Udah Ra. Lupain aja ok, lo enggak usah ngerasa bersalah soal itu. Kalau lo ngomong gitu lagi, gue mogok jadi temen lo nih," ancam Stella tidak serius.
"Ih, yaudah iya."
Pada akhirnya, Rara terus cemberut dan diam saja selama berjalan menuju TU.
"Ih! loket pembayarannya enggak dibuka. Kayaknya harus masuk, lo mau ikut masuk atau di sini aja?" tanya Rara saat mereka sudah sampai di depan ruang TU dan melihat loket pembayaran UDB ternyata tutup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] [COMPLETED] Kecelakaan yang dialami Stella membuatnya merasa berada di dasar terendah dalam hidup. Saat itu, Stella membenci hidupnya. Ia juga teramat membenci dalang dari hilangnya pengelihatan dan fungsi satu kakinya. Na...