BAB 11 ー Omelan Pagi

13.9K 1.2K 59
                                    

Bara anaknya mami yang paling ganteng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bara anaknya mami yang paling ganteng.

***


Pagi ini, ada hal yang membuat Stella terus-terusan berpikir. Bahkan, saat malam pun ia tidak bisa tidur nyenyak dan terus bergerak-gerak gelisah di tempat tidurnya. Isi kepalanya terus bekerja, dipenuhi oleh nama Rigel, Rigel, Rigel, lalu Alta.

"Dek, nanti kamu pulangnya telepon Pak Didi aja, ya?"

Stella tidak menyahuti.

"Malah bengong," gumam Chandra—kakaknya Stella.

Mobil yang di kemudikan Chandra berhenti di depan gerbang sekolahan Stella. Saat itu pun, Stella masih saja diam dan sibuk berpikir, membuat Chandra gemas lalu menarik pipi adiknya itu.

"Kakak!" Stella memukul lengan Chandra yang baru saja menarik pipinya keras-keras.

"Pagi-pagi malah bengong, mikirin apa sih kamu?"

"Kepo," sahut Stella pendek sambil melepaskan sabuk pengamannya.

"Mikirin cowok nih pasti, ngaku!" todong Chandra.

Stella menatap pada Chandra dengan wajah masam. Membuat Chandra bingung hingga mengangkat satu alisnya dan menatap balik Stella.

"Kakak," panggil Stella dengan wajah putus asa.

"Kenapa sih kamu, Dek?" Chandra menatap Stella bingung.

Stella menatap kakaknya lekat-lekat, pada detik berikutnya, ia menghela napas berat. "Kak, please jujur sama aku soal Bintang. Dia ada 'kan? Bukan cuman Kakak yang sering jagain aku 'kan? Lagian Kakak tuh sering sibuk di kantor, mana mungkin sih tiap hari dari pagi, siang, sore, malem jagain aku terus. Yakan? Bintang emang ada 'kan? Yang suka jagain aku, nememin, dan ngurusin aku itu Bintang 'kan? Kenapa Kakak sama Bunda harus sembunyiin itu sih?" Stella berbicara dengan nada merengek. Hal itu sudah ia tanyakan berpuluh-puluh kali pada kakaknya, tapi masih saja tidak ada titik terang.

Untuk sesaat Chandra hanya diam. Ia tersenyum hambar, tangannya terulur untuk mengusap kepala adiknya. "Kakak enggak tahu banyak hal, karena seperti yang kamu bilang, kakak selalu sibuk di kantor. Jadi, kamu tanyanya ke Bunda, karena kakak enggak begitu tahu."

Stella kian dibuat kebingungan oleh ucapan kakaknya.

"Maksudnya 'kakak enggak begitu tahu' apa?"

Chandra tersenyum menggoda dengan wajah yang berubah menyebalkan. "Cie kepo, sorry sorry aja nih, Dek. Kakak enggak mau banyak omong, mending kamu tanya Bunda sana."

"Ih! Ngeselin," keluh Stella kesal sambil memukul Chandra. Ia membuka pintu mobil dengan tampang kesal dan dengan bantuan kruknya ia buru-buru keluar dari mobil Chandra.

"Dek, enggak cium dulu?"

"Ga," sahut Stella singkat lalu menutup pintu mobil dengan sedikit emosi. Chandra selalu begitu, meskipun kakaknya itu tidak menampik segala sesuatu yang Stella ceritakan soal Bintang, kakaknya itu malah bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa dan tidak mau tahu apa-apa. Itu semakin membuat Stella yakin ada yang disembunyikan oleh kakak dan bundanya.

Dengan lesu, Stella berjalan memasuki lingkungan sekolahnya. Kini kepalanya bukan hanga diisi oleh Rigel, dan Alta saja. Kakaknya dan bundanya juga ikut-ikutan merecoki pikiran Stella, ia jadi penasaran kenapa bundanya menyembunyikan hal seperti itu.

"Stella!" teriak seseorang di belakang Stella, suaranya sudah tidak asing lagi. Tentu saja, siapa lagi yang hobi berteriak dan memanggil namanya dengan nada tinggi seperti itu, jelas hanya Bara.

"Kenapa, Bara?" tanya Stella halus. Ia mendongak menatap Bara yang berkeringat lengkap dengan seragam basket SMA Pranata, sepertinya anak basket sedang latihan pagi lagi.

Bara mengangkat bola basketnya, dengan pelam ia benturkan ke kepala Stella, membuat gadis itu mengaduh.

"Kenapa sih?" tanya Stella meminta penjelasan atas tindakan tidak jelas Bara barusan.

"Lo yang kenapa? Pagi-pagi jalan sambil bengong! Lo sadar ga tadi nyaris ketimpuk bola?!" sentak Bara tepat di depan wajah Stella, membuat gadis itu refleks memundurkan wajahnya, dan hanya menggeleng kaku.

"Untung bolanya masih bisa gue tahan! Bego banget sih lo jalan pake ngelamun sampe ke tengah lapang dan ga sadar anak basket lagi pada latihan!" omel Bara nyaris seperti sedang ngerap dengan emosi.

Stella mengerjap, tersadar ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan seketika ia merasa malu. Benar saja, ia sedang berada di tengah lapangan basket, saat ini anak-anak basket lainnya menghentikan latihan dan sibuk memandangi Stella dan Bara di tengah lapang.

"Astaga, gue bisa sampe ga sadar gini," guman Stella sambil menunduk malu.

"Nah, malu kan lo?! Udah sana, pergi ke kelas."

Stella mengiyakan titah Bara tanpa bersuara, ia berbalik dan beranjak dari posisinya dengan perlahan.

"Lo kalau mau mikirin gue, jangan sambil jalan."

Stella tidak memedulikan ucapan Bara, sambil menahan malu ia terus melangkah agar segera keluar dari lapang basket.

"Stella," panggil Bara lagi.

Kali ini Stella menoleh pada Bara. "Apa?" tanya Stella malas.

"Resleting lo, kebuka."

Mata Stella membulat mendengar ucapan Bara yang begitu kencang dan berpotensi didengar seluruh penghuni lapangan. Ia menegang dan makin merasa malu karena hal itu, tangan Stella pun langsung bergerak ke bagian belakang roknya.

"Tapi boong," lanjut Bara dengan wajah menjengkelkan lalu berbalik dan mulai mendrible bola basket.

BARA! NGESELIN! maki Stella dalam hati. Dengan dongkol ia melangkah keluar dari lapangan basket, Bara benar-benar jenis mahluk menyebalkan yang pernah Stella temui selama hidupnya 17 tahun di dunia.

Memasuki lift, Stella menghela napas berat, mencoba membuang segala perasaan kesal yang baru saja bercokol dalam hatinya karena Bara. Dalam lift ada sekitar dua orang siswi yang sedang mengobrol, dan Stella hanya diam di pojokan sampai lift sampai di lantai kelas 12.

Saat keluar dari lift, Stella langsung disuguhkan dengan pemandangan laki-laki yang sedang bersandar pada dinding dengan kepala yang tertutup hoodie dan earphone putih menggantung. Siapa lagi, meskipun wajahnya tidak terlihat karena penutup kepala hoodie, orang itu pasti Rigel. Stella pun memutuskan untuk berhenti di depan Rigel, menunggu lelaki itu mengangkat wajahnya.

"Gue nunggu lo," ucapnya langsung.

"O-oh? Ada apa?" tanya Stella masih saja sedikit grogi.

"Cuman mau bilang, soal rasa ketertarikan gue jangan lo jadiin beban. Sorry kalau hal itu malah bikin lo enggak nyaman," ucapnya setia dengan wajah datar tak berekspresi. "Gue niatnya jujur begitu biar lo enggak nyimpen tanda tanya soal kenapa gue sedikit bersikap berbeda dan selalu nolong lo."

Stella hanya mengangguk saja sambil menarik bibir untuk tersenyum kecil. Rigel memandangi wajahnya selama sesaat, segera ia menegakan badan dan beranjak dari tempatnya, meninggakkan Stella begitu saja.

Rigel berjalan dengan langkah cepat, ia langsung menuju ke atap sekolah. Ia melepaskan tudung hoodienya dan mencabut earphone dari kedua telinganya dengan kasar. Wajahnya yang semula datar berubah mengeras dengan sorot mata tajam. Tangannya terkepal, ia memukul dinding pembatas yang tidak rata hingga tangannya lecet dan berdarah.

"Lo bodoh Rigel! Lo salah, jalan yang lo ambil salah!" makinya pada diri sendiri.

***

Minggu, 3 Juni 2018

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang