BAB 20 ー Jangan Ganggu Dia

12.5K 1.2K 48
                                    




***

Sabtu malam, Stella hanya diam di rumah sambil memikirkan soal Bintang, sungguh ia dibuat pusing oleh hal itu. Stella lagi-lagi menatap tulisan tangan Bintang yang berisi perintah untuk tidak mencarinya. Sedari tadi Stella mencoba menerka-nerka, mengenai alasan Bintang menjauh darinya, tapi ia tidak mendapatkan dugaan yang tepat mengenai itu.

Bintang ada.
Selama ini dia diam dan sengaja ngejauh dari gue.
Kenapa?
Alasannya apa?

Stella nyaris menangis frustrasi karena hal itu. Stella kecewa, ia sedih, ia ingin marah pada Bintang yang seenaknya pergi tanpa alasan jelas.

"Gue enggak ngerti," keluh Stella frustrasi sambil meremas kertas dari Bintang lalu ia lemparkan asal. Diraihnya boneka beruang kesayangannya lalu ia peluk dengan erat.

Terpikir lagi soal misinya mencari Bintang. Sejauh ini dalam listnya hanya Rigel yang mendekati sosok itu, beberapa hal yang Stella ketahui tentang Bintang itu ada dalam diri Rigel. Lalu mengenai Altair, sebenarnya Stella sangat tidak yakin dialah sosok Bintang.

Memikirkan Altair, Stella jadi ingat pada Antares. Sebenarnya, bisa saja memang Antares yang ada di perpustakaan dan mendengar pembicaraanya dengan Rara soal Bintang. Stella mulai memikirkan kemungkinan bahwa si Antares ini adalah kaki tangan Altair. Mungkin saja Antares memberitahu Altair soal Stella yang sedang mencari Bintang, dan surat itu bisa saja ditulis Altair kemudian dititipkan pada Antares untuk diberikan padanya. Karena Antares anak musik, ada kemungkinan juga iPod Bintang yang tertinggal itu sebenarnya milik Antares yang sedang dipinjam Altair saat menjadi sosok Bintang. Kemungkinan itu bisa saja benar, dan Stella semakin dibuat pusing oleh kemungkinan itu.

Pusing dengan segala pemikiran tentang dua tersangka sosok Bintang, Stella bangkit dari tidurnya dan melangkah pelan-pelan menuju jendela dibantu kruknya.

Dibukanya lebar-lebar jendela kamarnya untuk melihat langit malam. Stella menghela napas sambil mendongak menatap gelapnya langit malam yang tidak dihiasi bintang-bintang. Malam ini langit tidak begitu indah.

Puas memandangi langit malam, pandangan Stella turun ke bawah, melihat jalan di depan rumahnya. Matanya menyipit kala mendapati sosok di dekat pohon besar milik tentangga depan rumahnya. Sosok itu berhoodie, sepertinya itu orang yang sama dengan yang mengawasinya saat di gerbang. Sosok itu hanya diam mematung di dekat pohon, lambat-lambat ia mendongakkan kepalnya yang tertutup tudung hoodie ke arah jendela kamar Stella. Saat sosok itu menatap tepat padanya, jantung Stella tiba-tiba berdetak tidak karuan, ia buru-buru menutup jendela dan berjalan dengan gelisah menuju tempat tidur. Stella merasa takut, sosok berhoodie di sana ternyata memang bukan Rigel.

***

Bertepatan saat jendela kamar yang sedang dipandanginya ditutup, ponselnya bergetar tanda panggilan masuk. Lelaki yang mengenakan hoodie itu diam sesaat memandangi nomor asing yang meneleponya. Ia memutuskan untuk menerima panggilan karena takut itu telepon dari orang penting.

Ia menempelkan ponselnya ke telinga, mendengarkan apa yang seseorang di seberang sana katakan. Penelepon itu berbicara cepat dan langsung ke tujuannya, ia diminta untuk datang ke tempat yang lokasinya tidak begitu jauh dari posisinya saat ini.

"Gue enggak tahu lo siapa dan gue enggak berminat buat datang ketemu lo."

Seseorang di seberang sana malah tertawa mendengar kalimatnya. Pemuda berhoodie itu merasa orang yang meneleponnya adalah orang tidak waras. Saat ia hendak memutuskan panggilan, seseorang di seberang sana bersuara lagi.

"Kalau ini menyangkut soal Stella, apa lo tetep enggak mau datang?"

Pemuda berhoodie itu diam sesaat, ia jadi penasaran orang asing ini siapa dan apa hubungannya dengan Stella.

"Gue datang," putusnya kemudian.

Mendengar jawaban setuju, sambungan telepon langsung diputus oleh penelepon di seberang sana. Pemuda berhoodie itu menatap kesal pada layar ponselnya, ia buru-buru memasukannya lagi ke saku celana dan beranjak dari posisinya menuju motor miliknya yang diparkir agak jauh dari rumah Stella, ia harus bergegas untuk menemui penelepon asing itu.

Dalam waktu singkat, ia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh penelepon asing itu. Ia langsung membuka helm dan turun dari motornya. Lokasi ini di samping gedung hotel terbengkalai yang letaknya juga dekat dengan tempat biasa ia nongkorong bersama teman-temannya.

"Apa yang mau lo omongin?" tanya pemuda berhoodie pada sosok berjaket denim yang sedang membelakanginya. Ia yakin orang itu yang tadi meneleponnya untuk datang ke tempat ini.

Sosok berjaket denim itu berbalik dan memperlihatkan wajah tidak ramah. "Gue minta lo berhenti nguntit Stella, berhenti cari dia di sekolah, dan berhenti gangguin dia!"

"Lo nyuruh gue datang ke sini cuman mau peringatin soal itu?"

"Ya."

Pemuda berhoodie tertawa meremehkan. "Sayangnya, gue enggak akan peduli sama ancaman lo, Bara."

Sosok berjaket denim itu adalah Bara, ia tahu Bara, mereka pernah saling kenal walau hanya sepintas.

"Bagus," ujar Bara senang sambil menyeringai. Pemuda di hadapannya langsung berubah ekspresi menjadi was-was.

"Kalau lo nolak begitu," Bara berjalan mendekat masih dengan menyeringai, "gue jadi punya alasan buat hajar lo sampe sekarat!"

Tanpa aba-aba Bara langsung melayangkan tinjunya pada wajah pemuda di hadapannya. Bara langsung menyerang lagi tanpa memedulikan apa pun, ia menghajar pemuda berengsek itu tanpa memberikan sedikit pun celah untuk orang itu melawan.

"Bangsat! Salah gue sama lo apa, hah?" teriak pemuda berhoodie saat ia sudah berbaring kesakitan di tanah. Bara benar-benar seperti orang kerasukan karena menghajarnya terus-terusan tanpa ampun, ia benar-benar kesulitan mencari celah untuk melawan Bara.

"Banyak," jawab Bara dingin. "Gue enggak pernah hajar orang yang enggak punya salah. Yang gue jadiin samsak tinju cuman orang-orang berengsek sejenis lo."

"Apa maksud lo?!"

Bara tertawa hambar mengabaikan pertanyaan itu. Di akhir tawanya, ia berkata, "Gue cuman minta lo jauh-jauh dari Stella. Dia benci lo, harusnya lo sadar diri buat enggak ganggu dan bikin dia ketakutan dengan terus-terusan nguntit dia!"

"Gue punya alasan atas apa yang gue lakuin itu!"

"Gue enggak peduli, jauhin dia."

"Lo enggak punya hak buat ngatur gue, bangsat!"

"Tapi gue punya cara biar lo nurut sama aturan gue," ujar Bara dengan senyum meremehkan.

Pemuda berhoodie itu mengerang, ia hendak melawan dengan sisa tenaganya, tapi Bara lebih cepat dan menghajar orang itu lagi sampai tidak sadarkan diri.

"Gue masih baik karena enggak hajar lo sampe mampus."

Bara memandang dingin pada sosok pemuda berhoodie yang sudah tidak sadarkan diri dan babak belur parah karena ulahnya. Bara tidak merasa bersalah karen telah menghajar pemuda itu hingga tidak sadarkan diri, baginya orang itu memang pantas dihajar. Karena dia adalah pemuda berengsek yang sudah mempermainkan Stella, pemuda berengsek yang tidak tahu malu masih mengejar Stella, pemuda berengsek yang membuat Stella paranoid dan ketakutan, dan dia juga pemuda berengsek yang malam itu membuat Stella lari ke tengah jalan lalu kecelakaan.

"Lo pantes dapet itu, Altair."

***

Bara vs Alta yeah.
Alta gabisa berantem, dia biasanya tebar pesona sama kaum hawa dan nyakitin Stella.

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang