Adrian Adyastha mengangkat kepalanya begitu pintu ruangannya dibuka dengan paksa. Tampak sosok Aldrich-putranya masuk ke dalam ruangan dengan wajah kesal. Pria tampan itu langsung duduk di depan Papanya yang sedang asyik menulis sesuatu diatas kertas. Entah apa itu, Aldrich tak ambil peduli.
"Papa kasi tahu aku, sebenarnya apa yang direncanakan pria tua itu? Mengapa tiba-tiba mengajukan proposal kerjasama dengan perusahaanku?" Aldrich memborbardir Papanya dengan pertanyaan begitu ia duduk diatas kursi.
Adrian mengerutkan kening heran. Pria paruh baya itu mengintip Aldrich dari atas kacamatanya dengan pandangan tak tertarik.
"Pria tua? Pria tua siapa maksudmu?"
Aldrich mengerang kesal mendengar jawaban Papanya. Ia sudah hampir meledak karena berurusan dengan Eyangnya tadi, sekarang Papanya malah membuat mood-nya semakin hancur saja!
"Siapa lagi kalau bukan Eyang!"
Adrian menutup bolpoinnya dan meletakkan benda itu kembali pada tempatnya, kemudian menanggalkan kacamata baca yang bertengger di hidungnya. Moodnya ikut hancur melihat Aldrich yang mencak-mencak tak jelas di depannya.
"Yang sopan sama Eyangmu, Al!"
"Aku berusaha untuk sopan dengannya. Tapi pria tua itu selalu saja berusaha menyulut emosiku. Aku menghabiskan waktu hampir satu jam menembus kemacetan, tapi dia malah membahas hal yang tak penting! Makanya aku kesini. Lebih baik Papa memberitahuku apa yang sebenarnya sedang direncanakannya sebelum kesabaranku benar-benar habis!"
Adrian berdecak pelan. Ia sudah terlalu lelah melihat sikap Papa dan anaknya yang sudah mirip kucing dan anjing itu. Sama-sama keras kepala! Aldrich pemarah, dan Bramastya suka sekali menggoda sampai cucunya itu senewen dibuatnya. Demi Tuhan! Sampai kapan drama ini akan berlangsung di keluarga mereka? Papanya juga sama! Beliau kan sudah tua, apa salahnya menghabiskan hidup dalam ketentraman dan kedamaian? Dia yang berada di pihak tengah benar-benar hampir gila karena ulah mereka berdua.
"Mana Papa tahu apa yang direncanakan Eyangmu itu! Papa tidak ada hubungan sama sekali dengan Primaganda, remember? Memangnya apa lagi yang dilakukan Eyangmu?"
"Dia mengajukan proposal kerjasama untuk pembangunan panti asuhan di Semarang."
"Apa yang membuatmu frustasi? Papa pikir tidak ada yang merugikanmu sama sekali. Bukannya malah bagus? Eyangmu masih perhatian padamu hingga menyiapkan ladang buatmu untuk beramal..."
Aldrich menatap Papanya dengan pandangan tak percaya. "Papa tahu kan bagaimana hubunganku dengan Eyang? Bisa-bisa mati berdiri aku bekerjasama dengan pengusaha macam dia!"
Adrian menghela napas panjang, tak sanggup lagi meneruskan perdebatan dengan putranya itu. Kepalanya sudah cukup pusing seharian ini ketika tim audit mendatangi kantornya karena dugaan korupsi yang dilakukan salah seorang ketua bagian di rumah sakitnya.
"Sudahlah. Nanti kita bahas lagi masalah ini. Kepala Papa sudah cukup pusing hari ini. Sekarang kamu temani dulu Papa makan siang. Kamu kesini dengan siapa? Sendirian?"
"Dengan Abra. Dia sedang menunggu dibawah."
"Ajak dia sekalian. Sudah lama Papa tidak bertemu dengannya."
Aldrich mengikuti dengan malas langkah Papanya yang sudah berjalan terlebih dahulu. Ia juga sedang lapar sebenarnya. Rencananya makan siang dengan sang Eyang tadi hancur begitu saja. Lain kali ia tak akan pernah lagi makan siang dengan pria tua itu. Bahkan berniat pun tidak!
Keduanya menyusuri koridor menuju lift. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan yang keluar dari bibir ayah dan anak itu.
Langka Aldrich terhenti begitu ia melihat sosok seorang gadis sedang berjalan kearah mereka. Azkayra Almeera. Gadis itu sepertinya sudah terlebih dahulu menyadari kehadiran mereka dan berniat untuk membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Tapi ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Kapan lagi ia bisa bertemu dengan Almeera jika bukan dengan kejadian tak disengaja seperti sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritualeBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...