48 - Pertimbangan

77.2K 8.7K 679
                                    

Assalamualaikum dan selamat pagi...

Aldrich dan Almeera update...

Yang kangen mana suaranya?

***

"Jadi bagaimana menurutmu, Al? Apa kamu sudah memikirkan tentang lamaran Pak Bramastya untuk Aldrich itu?"

Kyai Muhsin membuka percakapan siang itu. Almeera baru saja selesai menata teh dan kue diatas meja tempat Abah dan Umminya bercengkrama. Mereka sudah kembali ke Semarang lima hari yang lalu, dan selama itu pula pikiran Almeera tak pernah lepas dari Aldrich.

Saat pertama kali Bramastya Adyastha menemui kedua orang tuanya di rumah Aliansyah lima hari yang lalu dan melamarnya untuk Aldrich, tak bisa dipungkiri hati Almeera membuncah karena bahagia. Senyum tak lekang menghiasi bibirnya. Apakah Allah memang sengaja membukakan jalan baginya bersatu dengan Aldrich secepat ini?

Tapi semakin hari, setelah keadaan hatinya lumayan tenang dan kepalanya sudah kembali bisa berpikir jernih, Almeera mulai berprasangka. Bukan hal yang negatif, hanya saja sebagai seorang perempuan yang memiliki hati sensitif, hal ini cukup mengganggu baginya.

"Abah..."

Kyai Muhsin mengangkat wajah dari buku yang dibacanya. Beliau melihat wajah putrinya yang tampak ragu – ragu ingin berbicara. "Ya?"

"Al sebenarnya...itu..."

"Kenapa? Kamu gak mau menikah dengan Aldrich? Kalau tidak mau, nanti Abah--"

"Bukan! Bukan itu yang ingin Al bicarakan..." Almeera memotong ucapan Abahnya. "Al hanya bertanya – tanya, apa Aldrich tahu kalau Eyangnya melamar Al untuk dia? Apa dia setuju? Dan kalau dia setuju, kenapa sampai saat ini dia belum juga..." Almeera tak sanggup meneruskan kata – katanya. Ia menunduk dengan wajah memerah.

"Maksudmu, kalau dia setuju kenapa sampai sekarang dia belum juga datang kesini dan melamar kamu secara resmi, begitu?"

Almeera mengangguk pelan.

Kyai Muhsin dan Ummi Fatma tertawa. "Kamu tenang saja, insya Allah Aldrich nggak akan menyia – nyiakan kamu. Dia sudah menelpon tadi, katanya besok dia kesini."

Almeera menatap Abahnya kaget. Ia menelan ludah susah payah dan memilin ujung jilbabnya dengan gugup. Aldrich...besok kesini? Bertemu dengan kedua orang tuanya? Ya Allah....dia harus bagaimana?

"Jadi, kamu sudah punya jawaban?" Kyai Muhsin bertanya lagi.

Almeera hanya menggigit bibir menahan senyum. Kalau benar Aldrich akan kemari besok, berarti segala keraguannya terjawab sudah. Apa ada alasan lain untuknya mengatakan tidak? Hatinya jelas cenderung pada Aldrich, dan begitu juga sebaliknya.

Selama beberapa hari ini, Almeera sudah bertanya banyak hal tentang Aldrich pada orang – orang yang mengenal pria itu. Mas Ali, Mbak Shafiyah, Umminya, dan terutama sekali Axel, adik pria itu yang sudah hidup dengannya sejak mereka lahir. Dan jawaban mereka rata – rata hampir sama. Aldrich seorang pria yang baik, dan bertanggung jawab.

Selama beberapa hari ini pula Almeera lebih giat sholat istikharah. Ia bahkan meminta Abah dan Umminya untuk melakukan sholat istikharah untuknya. Semua ia lakukan karena ia tak ingin hubungannya dengan Aldrich berdasarkan nafsu dan hasrat belaka. Ia ingin, Allah-lah yang mengatakan padanya kalau Aldrich adalah pasangan yang tepat untuknya.

"Menurut Abah, Aldrich...bagaimana? Apa dia baik untuk Al?"

"Sepenglihatan Abah, dia anaknya baik. Hormat pada orang tua, ibadah dan bekerjanya rajin, dan yang paling penting sekali, dia bersemangat belajar. Itu yang paling utama. Orang terkadang suka lupa diri kalau sudah mengetahui sesuatu. Mereka pikir apa yang mereka punya sudah cukup, dan itu yang membuat mereka lalai. Tapi Aldrich tidak, dia selalu belajar dan belajar, sehingga hanya dalam waktu dua tahun saja dia disini, dia sudah mempelajari islam cukup banyak. Menurut Abah, dia bisa jadi imam yang baik untukmu." Kata Kyai Muhsin panjang lebar.

Assalamualaikum Almeera (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang