Assalamualaikum dan selamat membaca!
***
Sudah dua hari ini Aldrich tampak uring-uringan. Segala sesuatu yang dikerjakan para pekerjanya semua tampak salah dimatanya. Wajah datar dan dinginnya semakin tampak menyeramkan setiap kali ia masuk ke lobi kantor. Sapaan ramah dan tatapan genit dari pegawai – pegawainya juga ikut mati semua. Mereka memilih untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan masing – masing daripada menjadi sasaran kemarahan atasan mereka dan beresiko menjadi pengangguran. Karena selama dua hari ini Aldrich sudah memcat hampir lima orang karyawan diperusahaannya. Mulai dari OB sampai ketua tim pemasaran. Gila kan?
Yang paling repot dan susah tentu saja Abra. Sekretaris bos itu sampai kelimpungan membereskan semua kekacauan yang ditimbulkan bosnya yang sedang PMS itu. Tak hanya me-rescedule ulang meeting, mencari ketua tim pemasaran yang baru, membereskan ruangan Aldrich yang entah sudah kali keberapa jadi amukan pria itu...
Bunuh saja Abra sekarang!
Selama setahun lebih ia menjadi sekretaris Aldrich, baru kali ini ia melihat sisi ganas bosnya itu. Aldrich yang biasanya adalah sosok yang tenang dan punya kontrol diri yang baik meskipun wajahnya terkesan datar dan dingin. Abra jarang sekali melihat bosnya itu marah. Jika marahpun Aldrich tak pernah sampai memecat karyawannya.
Abra yakin kalau situasi ini terus berlanjut dia pasti juga akan jadi pengangguran sebentar lagi. Bukan karena dipecat, tapi karena perusahaan ini yang gulung tikar!
Ditengah kekalutannya, Abra teringat sesuatu. Ia menghentikan pekerjaannya dan bergegas meraih telfonnya untuk menelfon seseorang yang mungkin saja bisa meredakan kegilaan bosnya itu.
***
"Apa lagi kekacauan yang diperbuat anak bodoh itu?" Suara berat itu membuat Aldrich menoleh kearah pintu. Ia kenal suara itu. Kenal sekali malahan. Suara siapa lagi kalau bukan suara 'Pria Tua' itu!
Pintu ruangannya dibuka dengan kasar. Sosok Pria Tua itu muncul dari balik pintu diikuti Abra dan Zidi dibelakangnya. Pria Tua itu hanya berdecak begitu melihat kondisi ruangan cucunya yang tampak seperti kapal pecah itu.
Aldrich melotot kearah Abra yang berdiri dengan gelisah dibelakang Eyangnya. Sekretarisnya itu tampak tak berani menatap matanya.
"Nggak perlu melototin Abra sampai segitunya. Dia nggak salah apa – apa. Eyang emang sengaja kesini untuk membicarakan kontrak kerja kita. Tapi nggak nyangka malah menemukan pemandangan seperti ini. Menyedihkan!" Kata Bramastya dengan nada sinis. Pengarah sekaligus Direktur Utama Primaganda Group itu berjalan tanpa beban dan duduk disofa tak jauh dari tempat Aldrich berdiri.
"Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku sudah bilang aku nggak akan pernah terima proposal kerjasama proyek di Semarang itu!" Kata Aldrich ketus. Emosinya yang tadinya sempat mereda kembali naik perlahan – lahan begitu melihat wujud Eyangnya malah duduk dengan entengnya disofa ruangannya.
"Sit down!" Perintah Eyangnya.
Aldrich tak bergeming. Ia masih berdiri memunggungi Eyangnya, menatap pemandangan kota Jakarta dibawah sana.
"EYANG BILANG DUDUK, ALDRICH ADYASTHA!" Ulang Bramastya dengan tegas.
Mau tak mau ia menurut dan mengambil tempat duduk disamping Eyangnya. Ia memang seringkali membangkang pria tua itu. Tapi ia tak mampu melawan jika sang Eyang sudah mengeluarkan bertitah dengan nada tegas dan mengintimidasi seperti itu.
"Kalian berdua, bisa tinggalkan kami?"
Abra dan Zidi yang masih berdiri dipintu langsung keluar begitu mendengar permintaan dari Bramastya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritüelBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...