Selama ini, Aldrich selalu menikmati perjalanan bisnisnya ke luar kota. Selain berganti suasana, ia juga puas kembali pulang dengan tender milyaran rupiah. Apa di dunia ini yang paling menyenangkan selain uang? Tidak ada! Jangankan orang miskin, orang kaya sepertinya yang sudah terlahir dengan sendok emas di mulutnya saja sangat menyukai uang. Dengan uang, ia bisa mendapatkan apapun yang ia mau. Rumah mewah, kendaraan mahal, dan akses VVIP kemana saja ia pergi. Siapapun juga akan tunduk padanya, karena dengan uang itu ia memiliki kekuasaan tak terbatas. Dia bahkan bisa membeli Negara kalau dia ingin.
Well...tidak perlu, karena tanpa membeli pun keluarganya sudah memiliki pengaruh kuat di Negara ini. Sebut saja, siapa di Indonesia ini yang membayar pajak lebih mahal dari keluarga Adyastha?
Tapi, kali ini berbeda. Aldrich sama sekali tak menikmati pekerjaannya. Ia menghembuskan napas berkali – kali sejak tadi dan terus saja melirik ke arah jam, kemudian mengumpat dalam hati karena meeting sialan ini tak kunjung juga selesai.
Ia baru bisa bernapas lega saat kliennya yang bernama Pak Jayanto Setiabudi ini menandatangani kontrak kerjasama dengan wajah sumringah. Setelah bersalaman dan sedikit berbasa – basi, Aldrich langsung pamit. Setelah menolak tawaran makan siang bersama dari Pak Jaya tentu saja. Padahal pria paruh baya itu ikut membawa serta anak gadisnya yang cantik dan montok, mungkin berniat ingin menyodorkan padanya seperti pebisnis lainnya. Selain dapat tender, dapat calon menantu kaya raya pula. Seperti yang ia katakan tadi, siapa yang tak menyukai uang?
"Cepat berkemas, Ab! Kita pulang ke Jakarta sekarang..." Aldrich memberi instruksi tegas pada Abra saat mereka menelusuri lorong hotel menuju kamar.
Abra yang mengekori Aldrich mengerutkan kening. Di kepalanya sudah berseliweran banyak pertanyaan, tapi ia tak berani mengutarakannya. Aura bosnya dua hari ini terasa agak lain. Terkadang santai, terkadang cerah, dan terkadang gelisah seolah pria itu sedang menantikan sesuatu. Tapi yang paling aneh, Abra bersumpah pernah melihat pria itu tersenyum sendiri hanya karena meneliti jari – jemarinya.
Seorang Aldrich Adyastha tersenyum sendiri? Pria itu memang sudah mulai gila!
"Makan siang gimana bos?"
"Pesan saja, kita bisa makan di mobil."
"Tiketnya?"
Aldrich menghentikan langkah dan berbalik menatap Abra. "Cari sekarang, Abraham Mikail! Saya nggak mau tau, sore ini juga kita harus sampai Jakarta!"
Abra tersenyum canggung. "O...oke bos!" katanya. Ia tak mau mengambil resiko, karena jika Aldrich sudah memanggilnya dengan nama lengkap, itu sama saja artinya dia sedang di seret ke tiang gantungan secara perlahan – lahan.
Aldrich kembali meneruskan jalannya. Beberapa detik kemudian, pria itu tiba di depan kamar dan membuka pintu dengan cepat. Meninggalkan Abra yang menggeleng tak percaya karena nasibnya begitu malang bertemu dengan bos otoriter dan pemaksa seperti Aldrich.
***
Katakanlah dia egois, tapi Aldrich memang sengaja meminta Abra mencarikan tiket pulang sore ini. Bukan tanpa alasan ia ingin segera tiba di Jakarta. Tapi berlama – lama di tempat ini malah akan membuatnya semakin gila.
Azkayra Almeera. Semuanya karena gadis itu. Ia tak sabar menatap wajahnya yang bersinar dan merealisasikan apa yang sudah direncanakannya sejak dua hari yang lalu.
Aldrich baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya yang tergeletak diatas ranjang berdering. Ia baru saja selesai mandi, dan tubuh kekarnya masih berbalut bathrobe putih hotel. Sembari meraih ponsel, tangannya menyeka air yang menetes dari sela – sela rambutnya. Ternyata yang menelponnya adalah Jenny.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritualBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...