Almeera duduk terpekur di kursi tunggu dengan wajah cemas. Entah sudah berapa lama ia berada disana, tapi hingga sekarang belum juga ada tanda – tanda bahwa Aldrich akan selesai ditangani. Awalnya tadi ia ikut masuk ke dalam ruang IGD, tapi melihat kondisi Aldrich yang berlumuran darah, entah kenapa membuatnya tak bisa berbuat apa – apa. Kakinya seperti terpaku di bumi. Suster Anita yang melihatnya masih syok berinisiatif membawanya keluar dari ruangan dan menunggu sampai tim dokter selesai melakukan tugas mereka.
Almeera meremas tangannya. Jantungnya berdetak hebat saat menyadari bahwa Aldrich jadi seperti itu karena menyelamatkannya. Jika pria itu tak ada, sudah pasti dialah yang sekarang berada di posisi itu, terbaring di atas brankar dalam keadaan berjuang diantara hidup dan mati.
"ALDRICH! ALDRICH!!" suara seorang perempuan memanggil Aldrich membuat Almeera perlahan mengangkat kepala dan menoleh.
"Almeera, gimana Aldrich? Dia baik – baik aja kan?" perempuan itu menubruknya dan mengguncang tubuhnya. Almeera tak tau harus bicara apa. Apa Aldrich baik – baik saja? Dia akan baik – baik saja, kan? Bagaimana kalau seandainya dia...
Tidak...tidak...jangan berprasangka, Almeera. Dia pasti akan baik – baik saja...
"Dokter Axel..." suaranya terdengar parau. Air mata kembali meluncur di pipinya.
Axel memeluknya sambil terisak – isak. Almeera bingung, apa hubungan Aldrich dan Axel? Apakah mereka saling kenal? Kenapa Axel menangis sehisteris ini untuk Aldrich?
"Saya minta maaf. Karena saya Aldrich jadi seperti itu..." katanya Almeera lagi.
Axel menggeleng. "Tidak, Al. Jangan salahkan dirimu. Sudah ketentuan Allah semuanya jadi seperti ini."
"Masuklah kalau dokter ingin melihatnya. Dia sedang ditangani...saya tadi...disana. Tapi...tapi..."
Axel tak bergeming. Gadis itu sepertinya lebih memilih memeluk Almeera daripada melihat sendiri keadaan Aldrich di dalam sana. Mungkin dia juga sama sedih dan bingungnya seperti Almeera.
Lima menit kemudian, pintu ruang UGD terbuka. Almeera dan Axel langsung berdiri dan beranjak menghampiri Farizan yang keluar dari sana dengan tergesa – gesa.
"Kak Izan..." Axel terlebih dulu menegur Farizan.
"Oh, Axel! Good you are here...Aldrich dia..." Farizan meneguk ludah sekali. Pria itu seperti kesusahan menemukan kata – katanya.
"Dia baik – baik saja, kan Kak?"
Farizan tak langsung menjawab pertanyaan Axel. Pria itu menatap gadis itu dalam – dalam lalu melirik sekilas kearah Almeera dan Abra-yang entah kapan juga berada disana-yang ikut berdiri disamping Axel menunggu penjelasan darinya.
"No, it's bad! Dia butuh di operasi sekarang juga. Kami sudah melakukan CT Scan dan MRI dan hasilnya juga sudah keluar. Bagian kepala mengalami concussion, limpa bocor, lengan kiri fraktur terbuka, paha kanan dislokasi. God! What happened actually? He is mess, Axel. Totally mess! Aku sudah menghubungi dokter Wira spesialis bedah dan dokter Adjie Sandjaya spesialis syaraf karena jelas nggak mungkin aku minta Papamu buat mengoperasi sendiri kepala anaknya. Tapi untuk dokter spesialis orthopedi aku belum bisa menghubungi siapapun. Dokter Sukma sedang di Sydney, sedangkan dokter Mikael dan Dava sedang mengoperasi pasien lain. Aku nggak mungkin minta Diana dan Candra yang baru residen setahun itu untuk menangani operasi kakakmu. Cederanya terlalu parah..."
Axel meremas belakang kepalanya dengan gusar. Pikirannya sudah cukup kalut karena kecelakaan yang menimpa Aldrich, terlebih lagi Papa dan Eyangnya sedang tak berada di Indonesia. Dokter Adrian Adyastha sedang berada di Singapura, dan Tuan Bramastya yang terhormat sedang berada di Jepang dan baru dijadwalkan pulang sore tadi. Dan sekarang, seolah semesta sedang semakin mempersulitnya, tak ada dokter spesialis bedah tulang yang bisa menangani Aldrich. Axel rasanya ingin mengumpat pada Papanya, kenapa rumah sakit sebesar ini hanya memiliki tiga dokter orthopedi yang bisa diandalkan. Apa Primehealth Hospital kekurangan uang untuk mengontrak beberapa dokter lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritualBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...