11 - Makan Siang?

85.5K 6.7K 55
                                    


Aldrich menoleh kearah ponselnya diatas meja. Layar benda pipih itu sudah sejak tadi berkedip-kedip, menampilkan satu nama yang sejak kemarin ia hindari. Thalia Sharon. Mau apa lagi wanita itu?

Thalia berkali-kali menelponnya sejak ia membatalkan janji untuk mengunjungi wanita itu ke Singapore siang kemarin. Aldrich sudah mengatakan ia tak jadi berangkat, tapi Thalia seolah jadi wanita dungu dan tak berhenti menghubunginya. Menanyakan sebab pria itu tak jadi ke Singapore, dan berniat terbang ke Indonesia untuk mengunjungi Aldrich.

Hell! Memangnya siapa dia sampai-sampai Aldrich harus melaporkan semua kegiatan padanya? Mereka hanya sebatas calon teman tidur, tak lebih dari itu! Melihat sikap posesif wanita itu membuat Aldrich ilfeel seketika.

Teman bukan, pacar juga bukan! Benar-benar memuakkan!

Pria itu menonaktifkan ponselnya, membuat terror-teror menyebalkan dari model Singapore itu otomatis berhenti. Ia mendesah kesal dan berniat kembali meneruskan pekerjaan, tapi otaknya tak bisa berkosentrasi sama sekali.

Bukan karena merindukan Thalia. Tapi karena menyesal sempat memiliki niat untuk kenal dengan perempuan seperti Thalia.

Thalia adalah wanita sempurna untuk dijadikan pasangan. Cantik, cerdas, kaya dan putri dari orang berpengaruh dan terkenal di negeri singa itu. Tak ada laki-laki yang akan menolak pesonanya, termasuk dirinya. Tapi wanita seperti itu juga pasti akan mengikat pria sepertinya dengan komitmen. Pernikahan. Dan Aldrich benci dengan yang namanya komitmen.

Dia kaya, tampan, memiliki segalanya. Buat apa harus menyia-nyiakan seumur hidup hanya untuk seorang perempuan? Banyak perempuan cantik seperti Thalia diluar sana yang bisa ia nikmati kapan saja ia mau. Tinggal belikan saja mereka tas mewah atau baju bermerek, maka mereka akan rela melemparkan tubuh mereka padanya.

Soal keturunan, ia tak butuh anak dalam hidupnya. Ia hanya butuh pewaris. Dan ia bisa menyuruh adiknya untuk melahirkan banyak pewaris untuk keluarga mereka kelak. Axel sangat menyukai anak kecil. Itu juga yang membuat gadis itu mengambil spesialis kandungan.

Kalaupun suatu hari nanti ia berubah pikiran dan menginginkan anak, ia tinggal mengangkat anak dari panti asuhan. Seorang anak laki-laki yang tampan dan pintar sepertinya. Ataupun menyewa seorang perempuan cantik dan pintar untuk mengandung anaknya.

Perempuan yang cantik dan pintar seperti Almeera.

Ia mendengus. Almeera. Lagi-lagi Almeera. Otaknya seakan tak bisa lepas dari gadis berjilbab itu. Ia sendiri pun tak habis pikir. Padahal gadis seperti Almeera sama sekali bukan seleranya. Ia malah sudah mendoktrin otaknya, bahwasanya mereka yang berjilbab, apalagi yang berjilbab panjang seperti Almeera adalah orang-orang kolot. Tak mengikuti perkembangan zaman. Terbelakang.

Tapi anggapan itu perlahan terkikis sejak ia mengenal Almeera. Gadis itu berbeda. Meskipun memakai jilbab lebar dan membungkus tubuhnya dengan baju kebesaran, Almeera tetap nampak cantik dan mempesona. Pola pikir dan wawasannya yang luas membuatnya nyaman berlama-lama berbicara dengan gadis itu. Almeera tak pernah menatapnya lebih dari tiga detik apalagi menggodanya seperti wanita-wanita lain. Senyumannya juga seadanya, tapi terlihat tulus dan bersahaja.

Begitu mengingat Almeera, ia kembali teringat dengan tawaran Tristan malam kemarin. Tawaran yang seharusnya menjadi tawaran yang menarik itu sukses membuat hatinya bimbang bukan main. Sahabatnya itu sampai rela melepaskan galeri mewahnya secara cuma-cuma hanya karena seorang Almeera. Apa yang membuat pria gila itu sampai nekat seperti itu?

Pikirannya berkecamuk. Otaknya memerintahkan agar ia menutup mata dan menyetujui usul Tristan, toh dia tak akan rugi apapun. Malah untung berlipat ganda dengan saham puluhan ribu dolar dari galeri Tristan. Ia juga tak perlu mengkhawatirkan resortnya di Bandung harus lepas dari tangannya begitu saja.

Assalamualaikum Almeera (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang