Abra menggerakkan tubuhnya risih. Sejak setengah jam yang lalu ia disuruh masuk ke ruangan bosnya, tapi setelahnya ia hanya didiamkan saja, tak diajak berbicara atau diberi perintah. Disuruh duduk pun tidak. Kakinya mulai pegal, tapi melihat wajah bosnya yang keruh itu, ia mengurungkan niatnya untuk protes.
Aldrich memandanginya dengan tatapan tajam. Sesekali pria itu memandangi tubuhnya dari atas ke bawah berulang kali, kemudian menghela napas panjang. Abra mulai mengingat-ingat apakah ia berbuat kesalahan, tapi sepertinya tidak ada. Sebab jika ia berbuat kesalahan biasanya bosnya itu akan langsung memarahinya, bukan menelitinya dengan pandangan ingin menguliti seperti ini.
Sementara Aldrich juga asyik dengan pikirannya sendiri. Ia ragu dan menimbang-nimbang apakah seharusnya ia menanyakan tentang Almeera pada Abra atau tidak. Bagaimana ia harus bertanya tanpa menimbulkan kecurigaan Abra? Sekretarisnya itu terlalu pintar. Abra pasti akan langsung mengetahui ada sesuatu yang mencurigakan tengah terjadi. Apalagi topik tentang Almeera adalah hal diluar pekerjaan.
Abra memang tak tahu menahu tentang taruhan itu. Dan biasanya setiap kali mereka akan mengadakan taruhan, Abra memang tak pernah diikutsertakan. Anak itu terlalu baik dan polos. Ia tak suka dengan hal seperti taruhan dan semacamnya. Pernah suatu hari, mereka menghadiri pesta pernikahan salah satu anak rekan bisnis Mario di Ritz Carlton Hotel, dan seperti biasa mereka mengajak pasangan masing-masing. Aldrich kebetulan mengajak seorang model cantik yang baru dikenalnya beberapa hari untuk menjadi date-nya.
Ketika acara pernikahan tengah berlangsung, tiba-tiba tampak seorang wanita cantik dengan gaun merah darah memasuki ruangan. Pakaiannya seksi dengan belahan dada rendah dan punggung terbuka. Dandanannya berkelas dengan lipstick merah dan blush on yang menonjolkan tulang pipinya yang tegas.
Awalnya Aldrich tak tertarik sama sekali. Tapi begitu ketiga sahabatnya memulai kebiasaan mereka, akhirnya ia pasrah juga. Mereka mempertaruhkan sebotol wine mahal seharga puluhan juta pada Aldrich jika bisa memenangi gadis itu dan membawanya ke ranjang. Bagi Aldrich itu bukan taruhan sama sekali. Belum lagi ia mengambil langkah, wanita itu tampak sudah tersenyum menggoda kearahnya. Jadilah malam itu ia menghabiskan malam bersama wanita itu yang entah siapa namanya, setelah meminta Roy mengantarkan model yang menjadi date-nya pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, Abra bertingkah aneh padanya. Pria itu tak cerewet seperti biasanya. Ia hanya mengangguk, menggeleng dan menggumam tak jelas. Aldrich sempat dibuat kelimpungan. Bayangkan saja, semua pekerjaan yang sampai di mejanya pasti melewati meja Abra, tapi pria itu malah bersikap seperti robot—malah robot mungkin lebih menyenangkan daripada Abra.
Akhirnya setelah diusut, ternyata Abra marah dengan kejadian tadi malam, kejadian dimana Aldrich dan ketiga sahabatnya itu mempertaruhkan wanita hanya karena sebotol wine mahal.
Sejak saat itu, ia tak pernah bertaruh apapun di depan Abra.
Dan sekarang, apa yang kira-kira akan dilakukan Abra seandainya ia tahu Aldrich meletakkan gadis yang disukainya diatas meja taruhan mereka? Dengan harga mahal pula? Bisa-bisa sekretarisnya itu akan memboikotnya selama hidup, atau lebih parahnya lagi resign dari pekerjaannya dan mengambil tawaran Eyang. Oh tidak! Ia sudah nyaman dan klop bekerja dengan Abra. Bukan perkara mudah untuk mencari sekretaris yang kompeten dan bertanggung jawab sekaligus bisa dijadikan sahabat seperti Abra.
"Bos..."
"Hah?"
"Kenapa bos geleng-geleng kepala? Lagi sakit kepala?"
"Hah? Geleng-geleng kepala? Nothing! Kamu...kenapa masih disini?"
Ia ikut bingung melihat Abra memasang tampang bodohnya. Sekretarisnya itu tampak ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
روحانياتBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...