Sudah empat hari ini Almeera berada di Jakarta. Setelah melalui tiga hari yang lumayan sibuk di Semarang dengan acara selamatan dan berpamitan pada keluarga besar, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki di kota tempatnya menuntut ilmu ini dengan hati lapang.
Acara pelepasan para calon mahasiswa baru Oxford University yang diadakan selama dua hari di hotel Berlian berjalan lancar. Setelah mendengarkan banyak wejangan, berkenalan dengan sesama calon pejuang ilmu serta penandatanganan beberapa berkas, akhirnya Almeera bisa bernapas lega dan kembali ke kamar hotelnya. Nala, teman sekamarnya memutuskan langsung pulang begitu acara selesai karena rumah gadis itu masih berada di wilayah Tangerang. Almeera juga berencana untuk check out sore ini dan langsung menuju rumah Mas Ali. Tapi ia butuh beberapa jam untuk berbenah.
Menurut jadwal yang telah ditentukan, dua hari lagi Almeera akan berangkat umrah bersama Abah dan Ummi. Mereka akan berangkat dari Jakarta. Ia benar – benar sudah tak sabar. Meski sudah pernah menginjakkan kaki di tanah suci sebelumnya, kerinduan dalam hatinya untuk kembali beribadah disana kembali meluap – luap.
Selesai membereskan koper, Almeera langsung membersihkan diri. Mas Ali sudah mengirim pesan bahwa ia akan menjemput Almeera sekitar satu setengah jam lagi, dan Almeera bukanlah tipe yang suka membuat orang lain menunggu. Prinsipnya, jika ia membutuhkan seseorang maka dia harus memberikan kemudahan bagi orang itu. Biar dia menunggu, tapi jangan orang lain.
Baru saja ia selesai mengeringkan rambut, bel kamarnya berbunyi. Almeera mengerutkan kening seraya melirik jam digital diatas nakas. Mas Ali? Kenapa cepat sekali?
Dengan tergesa, ia menyarungkan jilbab instan ke kepalanya kemudian mengintip dari lubang pintu. Aneh, tak ada siapapun disana, tapi bel terus saja berbunyi. Akhirnya dengan rasa penasaran, ia membuka pintu sedikit.
Raut wajah yang berdiri disana sangat dikenal Almeera. Ia pernah bertemu dengan pria itu beberapa kali. Terakhir waktu di kafe saat itu. Tapi entah kenapa kali ini wajah itu terlihat lain. Sampai Almeera sempat ragu apakah orang yang ada di hadapannya saat ini sama dengan orang yang ditemuinya di kafe beberapa minggu yang lalu.
Wajahnya terlihat gelap dan...menakutkan. Dan Almeera sempat menyesal ia tak memasang door lock chain di pintunya tadi.
"P...Pak T...Tristan?!" Ohh ya Allah...entah kenapa suaranya bahkan terdengar bergetar sekarang...
"Hai Almeera..." Pria itu yang tak lain adalah Tristan melambaikan tangan seraya tersenyum lebar. Punggung Almeera berkeringat dingin melihat senyum itu. Ini benar – benar tidak baik! Insting Almeera mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi padanya setelah ini. Tapi dalam kegugupannya, ia masih sempat membaca doa dalam hati agar selalu terlindungi dari segala kejahatan.
"Ada apa Pak Tristan kesini? No, I mean, bagaimana Pak Tristan tahu saya disini?" Almeera berusaha menormalkan suaranya meskipun dalam hatinya ia sedang gusar bukan main. Gadis itu melongokkan kepalanya, berharap ada sosok lain yang ikut bersama Tristan kesini. Aldrich-pun tak apa. Tapi ternyata nihil. Tak ada siapapun. Pria itu sendirian.
Ya Allah...jangan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padaku...
"I know everything about you, Almeera..." Tristan menyandarkan sebelah lengannya di kusen pintu. Matanya berkilat penuh kemenangan.
Ucapan Tristan terdengar seperti ancaman yang nyata bagi Almeera. Hati kecilnya berbisik menyuruhnya bertindak saat ini. Dan tak ingin mengambil resiko, Almeera berusaha menutup pintu dengan cepat. Hawa – hawa iblis tercium pekat dari sekitaran pria itu. Bisa dipastikan dia tak akan selamat jika nekat meladeni permainan Tristan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
EspiritualBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...