30 - Tingkat Sabar Paling Tinggi

72.1K 6.9K 206
                                    

Satu malam yang lalu di kamar hotel tempatnya menginap, Aldrich sudah membayangkan dan berlatih menyusun kata – kata yang akan diungkapkannya saat bertemu Almeera. Ia akan bertemu gadisnya di taman rumah sakit seperti terakhir kali, dan meminta gadis itu menikah dengannya. Ia juga berencana menceritakan tentang taruhan terkutuk itu dan meminta maaf. Meski hal itu akan membuat Almeera marah dan kecewa padanya, tapi setidaknya gadis itu akan mengetahui cerita itu darinya, bukan dari orang lain. Almeera adalah seorang gadis berhati sangat lembut, ia yakin gadisnya itu pasti akan memaafkannya meski butuh waktu agak lama. Tak apa, dia bisa menunggu karena dia mencintainya.

Semua rencana itu terdengar begitu simpel, tapi yang simpel itu berubah menjadi sangat mengerikan saat benar – benar sudah terjadi. Almeera sudah mengetahui tentang taruhan itu, dan itu dari mulut Tristan, seseorang yang sejak dulu sudah menanti – nanti kehancurannya.

Ketika petaka seperti ini terjadi, baru dia menyadari bahwa pertemanan mereka selama ini sia – sia. Dia tahu Tristan iri padanya, tapi dia juga tak menyangka pria itu tega membunuh harapannya.

Jantungnya seolah dicabut paksa dari rongganya saat melihat tangisan Almeera. Gadis itu menatapnya penuh kesakitan, membuat hatinya seperti ditusuk tombak beracun. Sungguh, dia jauh lebih sakit, dan ini adalah rasa sakit paling parah yang dialaminya seumur hidup. Melebihi rasa sakit ditinggal oleh ibunya dulu. Bagaimana dia bisa bertahan hidup setelah ini?

Ingin rasanya ia menarik Almeera ke dalam pelukannya. Mengelus kepalanya dan mengatakan betapa dia sangat mencintainya. Meminta maaf bahwa perkenalan mereka harus diawali dengan hal mengerikan seperti ini. Aldrich rela melakukan apapun asalkan Almeera memaafkannya, meski harus berlutut sekalipun.

Tapi jangankan untuk memberikan Almeera penenangan, untuk menggerakkan tubuhnya saja dia tak mampu. Dia seperti sedang berada di dimensi lain. Jauh dari orang – orang, jauh dari gravitasi bumi. Dan saat dia sadar, Mario sedang memukuli Tristan dan Almeera sudah pergi dari sana.

Tristan tak membalas pukulan Mario, pria itu hanya tersenyum mengejek menatapnya. Membuat Aldrich sadar, mulai saat ini persahabatan mereka sudah berakhir.

Benar – benar sudah berakhir...

***

Sepanjang perjalanan pulang, Almeera tak berbicara sepatah kata pun. Gadis itu memejamkan mata dan sesekali menyeka air mata yang turun membasahi pipinya. Nisa sampai khawatir melihat wajah sahabatnya yang biasanya putih itu kini memerah, tapi ia menahan diri untuk bertanya. Ia akan menunggu hingga Almeera tenang terlebih dahulu.

Rencana mereka untuk singgah di supermarket ditunda karena kondisi Almeera yang tampak kacau. Begitu mobil Nisa parkir dengan rapi di basement, Almeera langsung keluar dan berjalan gontai menuju lift, meninggalkan Nisa di belakang. Di dalam lift, gadis itu kembali memejamkan mata dan menyandarkan tubuh dengan pasrah, seolah dinding lift itu bisa menopang hidupnya. Beruntung saat ini lift sedang kosong. Nisa juga mendengar Almeera menarik dan menghembuskan napas panjang berkali – kali.

Setibanya di rumah, mereka masuk ke kamar masing – masing. Almeera tak kunjung keluar kamar hingga pukul setengah sembilan malam, sehingga mau tak mau Nisa harus mengetuk pintu untuk mengajaknya makan malam. Ia tak ingin sahabatnya itu jatuh sakit.

"Al?" Nisa mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban sama sekali dari dalam.

"Almeera? Kamu lagi ngapain? Ayo makan Al..."

"...."

Masih saja tak ada reaksi.

"Aku masuk ya..."

Nisa membuka pintu dengan perlahan karena cemas terjadi sesuatu pada Almeera. Kamar gadis itu temaram, hanya cahaya dari lampu tidur saja yang berusaha menerangi kamar itu. Mata Nisa menangkap siluet Almeera yang masih terbalut mukena sedang berbaring meringkuk diatas sajadah. Punggungnya memancarkan aura kesedihan yang begitu kental. Baru kali ini Nisa melihat Almeera begitu rapuh.

Assalamualaikum Almeera (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang