38 - Awal Tanpa Almeera

81K 8.3K 540
                                    

Empat puluh lima hari pasca kecelakaan...

Ruang VVIP Primehealth Hospital, 15.30 WIB

Jemari pria yang sedang terbaring di atas brankar itu perlahan bergerak seiring dengan kelopak matanya yang mengerjap samar. Sudah satu setengah bulan ia tertidur lelap pasca kecelakaan yang menimpanya dan sekarang ia menunjukkan tanda – tanda mulai sadar. Seorang gadis yang sejak tadi duduk sambil terkantuk – kantuk di atas sofa langsung terperanjat kaget begitu mendengar bunyi bip monitor elektrokardiograf yang biasanya konstan kini terdengar tak beraturan.

Gadis itu langsung menekan tombol darurat yang langsung terhubung dengan ruangan ayahnya. Sejak Aldrich divonis koma setelah operasi, dokter Adrian sendiri adalah salah satu dokter yang secara pribadi menangani kondisi putranya itu. Selain karena beliau adalah dokter bedah syaraf terbaik di Indonesia yang memiliki jam terbang yang jauh lebih tinggi daripada dokter bedah syaraf yang lainnya, Bramastya Adyastha yang notabene adalah Eyang si pasien tak mengizinkan jika cucunya itu dirawat oleh orang lain selain orang – orang yang berkemampuan terbaik-katanya.

'Kenapa harus menyerahkan perawatan Aldrich pada orang lain kalau dia sudah memiliki dokter pribadi yang kehebatannya sudah diakui di seluruh Indonesia? Kamu merawat orang lain sampai terkadang lupa jalan pulang ke rumah, Adri! Sekarang giliranmu merawat cucuku sampai sembuh!'

Beberapa menit kemudian, dokter Adrian masuk ke dalam ruangan dengan tergopoh – gopoh diikuti dua orang dokter muda dan seorang suster paruh baya di belakangnya. Axel menyingkir membiarkan empat orang itu berkutat dengan tugas mereka. Cukup lama dokter Adrian melakukan pemeriksaan pada Aldrich sambil sesekali berbicara dengan ketiga asistennya hingga akhirnya pria paruh baya itu menatap Axel dengan raut penuh kelegaan.

"Thanks God, he is back..."

Axel tak kuasa menahan rasa harunya. Gadis itu memeluk Papanya dengan tangis pecah sembari mengucapkan hamdalah berkali – kali. Kakaknya akhirnya sadar dari tidur panjangnya.

"Greet him, Princess...Papa harus menghubungi dokter Wira dan juga menelpon Eyangmu terlebih dahulu sebelum dia tau dari orang lain kalau cucunya sudah sadar, atau dia akan mulai mengamuk nanti."

Axel mau tak mau mendengar ucapan Papanya. Tuan Bramastya Adyastha yang terhormat itu seringkali mencela Papanya sebulan ini karena belum juga berhasil membuat Aldrich sadar dari koma. Padahal Papanya sudah mengatakan keadaan Aldrich semakin hari semakin membaik, hanya tinggal menunggu waktu saja ia akan bangun. Tapi Eyang tetap saja Eyang yang keras kepala dan ingin semuanya serba cepat.

Axel tahu, Eyangnya bertingkah seperti itu karena terlalu sayang dan mengkhawatirkan Aldrich. Almarhum Austin dulu meninggal juga karena concussion, dan beliau tak ingin kembali kehilangan untuk kedua kalinya. Setiap hari Eyang selalu menyempatkan diri menjaga Aldrich yang berkelana di alam bawah sadarnya meskipun ia sedang sibuk sekalipun. Pria tua itu mulai menceramahi Aldrich bagaimana seharusnya seorang pria sejati bertanggung jawab—dalam hal ini tanggung jawab yang harus diemban Aldrich atas perusahaannya, Primaganda Group. Jika sudah lelah membahas masalah pekerjaan, ia akan mulai mengancam akan menikahkan Almeera dengan pria lain jika Aldrich tak kunjung bangun juga.

Axel sampai tak habis pikir, memangnya Eyang-nya itu siapa sampai punya kuasa menikahkan Almeera segala?

"Hai, brother. Welcome back..." Axel mengelus kepala Aldrich yang ditutup perban dengan lembut. Ia menyunggingkan senyum selebar mungkin dan menghapus air mata nakal yang tak mau berhenti mengalir ke pipinya. Allah saja yang tahu betapa bahagianya ia saat ini.

Aldrich mengerjap lemah. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya. Axel mengerti bahwa kakaknya itu masih lelah.

"Istirahatlah..." katanya.

Assalamualaikum Almeera (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang