Dua hari berlalu sejak kejadian di kafe, Aldrich seperti kesetanan mencari Almeera. Ia ingin meminta maaf dan meluruskan beberapa hal dengan gadisnya itu. Tapi Almeera seakan ditelan bumi, keberadaannya tak bisa ia ketahui sama sekali. Aldrich sudah bolak – balik dari apartemen Almeera ke rumah sakit, tapi Almeera tetap tidak ada. Rupanya kemarin adalah hari terakhir Almeera bekerja di rumah sakit. Sementara apartemen, hanya wajah datar Nisa yang menyambutnya di depan pintu, tanpa emosi sama sekali.
"Tolonglah Nisa, saya benar – benar harus bertemu Almeera."
Nisa melipat tangan di depan dada. "Maaf Pak Aldrich, tapi Almeera memang tidak berada disini sekarang..."
"Dimana dia?"
"Saya tidak punya hak untuk mengatakannya. Sebelum pergi dia berpesan pada saya agar tidak memberitahu pada siapapun kemana dia pergi."
Bahu Aldrich luruh. Melihat dari kepribadian Nisa yang memang menjunjung tinggi rasa setia kawan, sampai besok pagi pun dia tak akan mendapatkan apa – apa jika tetap disini. Akhirnya, dengan usaha – usaha terakhirnya, Aldrich bertanya.
"Apa dia sudah pergi lama?"
"Ya, sejak pagi kemarin..."
Aldrich mengangguk. "Menurut kamu...apa dia...dia akan memaafkanku?"
Nisa mengurai lipatan tangannya dan menarik napas panjang. Dilihatnya Aldrich yang sedang menunduk di depannya. Pria itu seperti prajurit yang kalah perang. Penampilannya tampak kacau dengan kemeja kusut dan rambut berantakan. Kantong matanya juga tampak tebal. Nisa kasihan sebenarnya, tapi dia juga tak bisa melakukan apapun karena sudah diamanahi oleh Almeera.
"Bapak menyukai Almeera?" Nisa balik bertanya.
Aldrich langsung mendongak. Perlahan tapi pasti, sebuah senyuman terbit dari bibirnya. Tapi Nisa bisa melihat senyum itu tampak begitu miris dan penuh kesakitan.
"Tidak. Saya mencintainya."
Nisa terdiam. Sebenarnya dia sudah menyangka tentang hal itu, tapi melihat sifat Aldrich yang sepertinya cenderung angkuh, pasti butuh waktu lama bagi pria itu untuk mengaku. Ternyata tidak, dan Nisa merasa itu memang wajar, karena siapapun pasti akan dengan mudah takluk dengan pesona seorang Azkayra Almeera. Setahu Nisa, Aldrich adalah orang yang kesekian yang terang – terangan jatuh cinta pada sahabatnya itu.
"Saya tahu, saya tidak pantas dan tidak tahu diri karena berani mengharapkan seorang gadis seperti dia. Tapi saya juga tidak bisa menahan perasaan saya, Nisa. Saya janji akan melakukan apapun asalkan Almeera bisa saya dapatkan..."
Lama keduanya terdiam. Aldrich yang masih bertanya – tanya dalam hati dimana gadisnya dan Nisa yang melihat betapa pria di depannya ini tampak nyaris gila karena Almeera. Hingga beberapa menit kemudian, karena kebisuan di antara mereka tak kunjung terurai, Aldrich memutuskan untuk pergi dari sana. Dia akan mencari Almeera di tempat lain. Kalau tidak salah Edy pernah memberinya informasi tentang alamat rumah kakak tiri Almeera. Mungkin saja gadis itu sedang berada disana. ya...mungkin saja...
"Kalau begitu saya permisi dulu..."
"Baiklah. Maaf karena saya tidak bisa membantu apapun, Pak Aldrich..."
"It's okay..."
Aldrich berjalan menyusuri lorong apartemen dengan langkah berat. Rasa bersalah di hatinya kini bercampur dengan was-was. Apakah Almeera sebegitu kecewa sehingga tak mau lagi bertemu dengannya?
Belum sempat ia berbelok menuju lift, suara Nisa memanggilnya.
"Pak Aldrich?"
Aldrich langsung menoleh. "Ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritualBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...