Warning!!
Part ini pendek. Ahaha...
***
"Jadi, ada apa Pak Kyai tumben manggil saya pagi – pagi begini? Ndak biasanya lhoo..." Yusuf membuka pembicaraan begitu mereka bertiga selesai sarapan. Sri, asisten rumah tangga Kyai Muhsin baru saja selesai menghidangkan kopi dan mengangkut piring bekas sarapan ke dapur.
Kyai Muhsin terkekeh pelan. "Ya sebenarnya nggak ada yang mendesak Suf, cuma memang harus dibahas. Kamu tau kan saya ini udah tua, kalau ditunda terus nanti lupa."
Yusuf menegakkan punggung, sementara Aldrich hanya diam mendengarkan.
"Begini..." Kyai Muhsin sedikit berdehem. "Kamu tau kan, dua minggu lagi mbakmu pulang dari Inggris. Jadi--'
Uhukk uhuukk uhukk...
"Innalillahi...kamu kenapa Al?" Kyai Muhsin menatap Aldrich bingung bercampur khawatir. Beliau menepuk – nepuk punggung Aldrich sementara Yusuf mengulurkan serbet.
"Ma...maaf Pak Kyai. I...ini minumannya panas..." kata Aldrich pias.
Kyai Muhsin menggeleng dan kembali duduk. Mengabaikan wajah Aldrich yang tampak seperti tak berdarah, ia melanjutkan ucapannya.
"Jadi, saya minta kamu kosongkan waktu buat nemenin saya sama Ummimu ke Jakarta dua minggu lagi, bisa?"
"Oh, insya Allah bisa Pak Kyai. Tapi kalau boleh tau, Mbak Almeera pulang dalam rangka apa Pak Kyai? Kuliahnya belum selesai, kan?"
"Belum, mbakmu masih setahun lagi selesainya. Entahlah, katanya dia hanya ingin pulang. Rindu sama Abah Umminya. Kan semenjak pergi dia belum pernah pulang. Nah, kebetulan katanya dia ambil jatah libur dua bulan lebih..."
Yusuf mengangguk – angguk. "Kalau di luar negeri itu memang liburnya lama ya Mas?" katanya sambil memandang Aldrich. Aldrich lulusan luar negeri, pasti tahu akan hal itu.
"Ya. Libur musim panas kalau di Amerika biasanya sampai hampir tiga bulan. Disana bukan jumlah jamnya yang ditambah, tapi kualitas pembelajarannya yang ditingkatkan."
Yusuf lagi – lagi mengangguk. "Mas Ali nggak ngejemput Pak Kyai?"
"Ali juga menjemput, tapi dia nggak bisa ngantar sampai ke Semarang. Makanya saya minta bantuan kamu..."
Aldrich berdehem. Jadi Almeera akan pulang?
Ia mendesah pelan, tak lagi bisa berkonsentrasi dengan obrolan Kyai Muhsin dan Yusuf. Ia seolah tertarik semakin jauh ke dalam dunianya sendiri. Dua tahun berusaha membangun tembok yang kokoh dari perasaannya terhadap Almeera, nyatanya dia nyaris kembali tersungkur hanya dengan mendengar berita kepulangan gadis itu. Ya Allah...dia harus bagaimana?
Belum lagi melihat Almeera nyata di depan matanya, dadanya sudah bergemuruh luar biasa. Bagaimana jika Almeera benar – benar berdiri di depannya?
Ya, seperti yang dikatakannya tadi, banyak yang berubah selama tiga tahun ini, termasuk kepercayaan dirinya untuk mendapatkan Almeera. Dua tahun tinggal di pesantren, dia tahu ternyata gadis itu bukan gadis sembarangan. Bukan hanya dia saja yang ingin memiliki Almeera, beberapa ustadz yang mengajar di pesantren juga sepertinya menaruh perhatian pada kembang Al-Furqan itu. Kata Yusuf, Ustadz Zulkifli dulu bahkan pernah mencoba mengkhitbah Almeera, tapi ditolak secara halus oleh gadis itu karena ia ingin melanjutkan pendidikan terlebih dahulu. Lamaran juga berdatangan dari putra para Kyai di Semarang dan sekitarnya. Selama dua tahun ini saja lebih lima kali Kyai Muhsin menerima tamu yang bermaksud meminang putrinya.
Aldrich cukup tahu diri, siapa dia jika dibandingkan dengan para pemuda itu? Dia tak ada apa – apanya! Ilmu agama masih dangkal, hafalan Al-Qur'an masih terbata – bata, hadits masih banyak yang lupa...sementara mereka yang datang mengkhitbah Almeera rata – rata adalah orang – orang sholeh, keimanan dan pemahaman mereka terhadap agama juga jauh lebih baik, nasab mereka luar biasa, dan yang paling penting, mereka dengan gagah berani meminta Almeera langsung pada kedua orangtuanya, bukan seperti dia yang pengecut.
"Ya kan Mas?"
"Hah?"
Aldrich mengerjapkan mata begitu menyadari bahwa dia baru saja melamun. Ia langsung membetulkan duduknya supaya tak kelihatan salah tingkah.
"Mas setuju apa ndak sama apa yang saya bilang tadi?"
"Y...ya, setuju."
Yusuf langsung bersorak. "Benar kan, Pak Kyai? Gus Muslim itu cocok sama Mbak Almeera. Mbak Almeera-nya cantik, Gus Mus itu ganteng, sholeh, anak kyai, lulusan Al-Azhar pula..."
Aldrich melotot horror mendengar ucapan Yusuf. Apa – apaan? Jadi...tadi dia setuju kalau Almeera disatukan dengan...siapa tadi namanya?
YANG BENAR SAJA!
Tawa renyah Kyai Muhsin membuat tubuh Aldrich yang tegang perlahan rileks. Dari ujung matanya, ia melihat Kyai Muhsin menyeruput kopi dari cangkirnya sebelum berbicara. "Jodoh itu di tangan Allah, Suf. Saya tidak pernah memasang patokan suami mbakmu itu harus anak kyai ataupun lulusan Al-Azhar, asalkan pria itu mencintai Allah dan Rasul-Nya, siapapun tak menjadi masalah bagi saya. Yang penting dia bisa membawa Almeera menuju syurga-Nya."
Hati Aldrich tersentil mendengar ucapan Kyai Muhsin, terlebih saat berbicara seperti itu Kyai Muhsin menatapnya dalam meskipun bibirnya masih tersenyum lembut seperti biasa. Ia seperti mendapat harapan baru, tapi tak berani untuk menumbuhkannya lebih jauh.
"Sampeyan mas, kapan mau nikah? Umur udah tiga puluh lebih tapi gak nikah – nikah juga?" Yusuf mengalihkan pembicaraan pada Aldrich. "Itu mbak Khairiani sepertinya bersedia kalau diajak ta'aruf..."
Aldrich hanya menanggapi dengan senyuman. Ia melirik sekilas pada Kyai Muhsin yang ternyata juga menatapnya penasaran. Entah kenapa, setiap kali membahas pernikahan di depan Kyai Muhsin rasanya selalu canggung, seperti...sedang meminta izin pada mertua untuk berpoligami.
Na'uzubillah...
"Lah, kenapa jadi saya toh Suf?"
"Ya saya kan cuma penasaran, Mas. Mas Aldrich itu kurang apa lagi untuk menikah? Yang suka rame, mapan juga udah. Tinggal pilih salah satu, trus nikahin. Nggak baper emangnya lihat Mas Yassan menikah kemarin? Nggak ngiri gitu?" tanya Yusuf berapi – api.
Aldrich menggeleng kecil. "Kamu ini, tentu saja saya iri. Tapi saya juga nggak bisa sembarangan milih perempuan untuk dinikahi, Suf. Kamu sendiri tahu kan hidup saya selama ini seperti apa? Sungguh jauh dari Allah. Meskipun sudah dua tahun disini, tapi iman saya ini kadang juga masih seringkali turun."
"Ya, hakekatnya pernikahan itu kan saling mengingatkan, benar ndak Pak Kyai?"
"Ya, benar." Kata Kyai Muhsin.
Aldrich diam. Ia menunduk menekuri cangkir kopinya yang mulai dingin, tak menyadari Kyai Muhsin memandangnya penuh arti. Aldrich tak tahu, jauh sebelum kedatangannya di pesantren ini, Kyai besar itu telah mengenal dirinya meskipun hanya lewat cerita. Ia juga tak sadar, selama ini Abah Almeera itu selalu memperhatikan Aldrich menatap foto putrinya di ruang tengah dengan tatapan sarat kerinduan, sehingga foto itu harus beliau singkirkan demi keselamatan Aldrich sendiri.
Aldrich juga tak menyadari, bahwasanya Kyai Muhsin juga sudah tahu tentang perasaannya terhadap Almeera, dan alasannya yang tak juga kunjung menikah juga karena dia belum bisa melepaskan bayang – bayang Almeera dari pikirannya.
Tapi Kyai besar itu tak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka dulu sehingga Almeera pulang ke pesantren seperti orang yang berbeda dan Aldrich yang sampai sekarang seperti hidup dalam rasa bersalah. Itu urusan mereka anak – anak muda. Ia hanya bisa berdoa semoga Allah senantiasa melindungi mereka.
----------------------------------------------
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Almeera (SELESAI)
SpiritüelBagi Aldrich Adyastha yang memiliki segalanya, memenangkan pertaruhan dengan ketiga sahabatnya untuk mendapatkan seorang Azkayra Almeera tentu bukanlah perkara sulit. Cukup petik jari, sudah dipastikan gadis itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Seti...