-Revisi-
Derap langkah kaki Kiera tergesa-gesah saat berjalan menyusuri koridor rumah sakit, sesekali dia menoleh ke segala arah dengan tetap memegangi mulutnya meski sudah tertutup masker, ia mencoba menghindari tatapan dari beberapa orang yang kemungkinan mengenali dirinya. Lebih parah lagi jika ada wartawan gila yang mengikuti, dia harus tetap waspada dimana pun dia berada. Itu sudah bukan hal baru bagi dirinya.
Kiera adalah penyanyi terkenal yang kepopulerannya meroket selama beberapa tahun yang lalu namun, kini segalanya telah berbalik, ia memutuskan untuk berhenti karena tidak mampu bernyanyi lagi dengan suara emasnya, ditambah lagi dia terpaksa berhenti akibat skandal rumor yang semakin menyudutkannya. Mungkin inilah yang disebut jungkir balik di dunia yang tidak pernah adil.
Bukan tanpa sebab ia mengendap-endap seperti ini, gadis itu masih takut wajahnya terpampang lagi di majalah dan koran, tersebar berita yang menjelekkan bahkan tidak benar atas dirinya. Baginya menghindar lebih baik daripada membiarkannya terulang kembali, seperti tidak rela dirinya dijadikan bahan oleh media agar menguntungkan pihak mereka.
"Tunggu!" seseorang memanggil dari arah samping membuat Kiera lantas menoleh. Sedetik kemudian Kiera melarikan diri dari orang itu yang tampangnya seperti wartawan.
Damn! Wartawan gila! Kiera membatin, ia terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang, memastikan dirinya terbebas dari wartawan yang mengejarnya.
Rasanya wartawan bertubuh jakung, dengan rambut warna pirang itu tak pernah lelah mengejar atau setidaknya mengambil potret Kiera secara terang-terangan. Bagi Kiera itu sangatlah mengganggu sampai membuatnya muak. Menyebalkan!
Begitu melihat toilet, otomatis Kiera mempercepat larinya dan masuk ke dalam untuk bersembunyi. Berharap dirinya benar-benar aman.
Di dalam toilet dia terengah sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri sembari duduk di toilet duduk. Tudung kepalanya juga dilepas, setelah itu kacamatanya di naikkan ke atas kepala.
Sial! Kapan orang gila itu berhenti ngejar aku?! Jadi pengen nabok mukanya, ish! ucap Kiera dalam hati, tanpa sadar ia melepas sepatu dan mengangkatnya ke atas seakan orang yang akan dipukul ada di depannya.
Beberapa menit berlalu. Dia amat bersabar menunggu kebebasannya, begitu merasa tenang dia berdiri lalu berjalan keluar, Kiera menoleh ke segala arah untuk memastikan dirinya benar-benar aman.
Fyuh! Aman! batin Kiera. Kakinya mulai terayun lagi, berjalan menuju ruangan dokter yang biasa ditemuinya, yaitu Dr. Resa.
Tak berselang lama akhirnya Kiera sampai di ruangan tersebut, tangannya mengetuk pintu secara beraturan.
"Masuk!" dokter itu berseru dari dalam ruangan.
Dengan sekali dorong pintu itu dibuka Kiera, ia menuntun kakinya berjalan mendekat lalu duduk di kursi. Sekarang ia aman bersama dokter berwajah tampan dan kalem itu.
"Jadi bagaimana, Kiera?" tanyanya basa-basi. Mendengar namanya disebut, Kiera lantas mengerutkan dahi.
"Oh, maaf. Maksud saya, Ra."
Kiera memutar bola mata, sesaat ia berpikir lelaki itu memang sengaja melakukannya, padahal sebelumnya sudah diperingatkan agar tak lagi memanggilnya dengan nama itu. Nama berlebel haram bagi Kiera.
"Sebaiknya kacamata, masker, dan tudungnya dilepas dulu biar santai."
Kini raut wajah Kiera mulai berganti datar. Ia paling tak suka dokter spesialisnya itu kebanyakan bicara.
"Baiklah." Dr. Resa angkat bahu sebab putus asa untuk mengajaknya bercanda. "Bagaimana selama enam bulan ini? Apa sudah terbiasa tidak bicara sama sekali?" ia mulai menekan pulpennya ke kertas di meja kerjanya.
Mendengar pertanyaannya Kiera lantas mengangguk.
"Oh, bagus kalau begitu." Ia mulai menulis lagi, "Tenggorokan masih sakit?"
Kiera terdiam sejenak sambil mencoba menelan ludah untuk merasakan tenggorokannya.
Dokter itu menaikan kedua alis, menunggu jawaban.
Kali ini Kiera menggeleng, semyumnya mulai merekah.
"Tolong jangan tersenyum, itu membuat saya meleleh." Dokter itu menggoda, sebelah matanya mengedip genit.
Secepat kilat Kiera menulis sesuatu di note kecil yang tergantung di lehernya.
Genit! Gila!
Itulah yang ditulisnya lalu ditunjukkan kepada Dr. Resa membuat dokter itu tertawa lepas.
***
Kiera baru saja mendaratkan bokongnya di kursi kereta, tapi kini ada seseorang sedang menatapnya jeli seolah terpesona. Namun, bagi Kiera tatapan itu menunjukkan kecurigaan terhadapnya. Maklum saja, Kiera terbiasa curiga terhadap orang lain. Sangat berlebihan memang. Ya, apapun untuk keselamatannya bukan?
Selalu aja ada orang yang lihatin. Apa masalahnya, sih? Bukannya aku cuma pakai kacamata hitam sama masker? Tudungnya nggak aku pakai, kan? Apa kelihatan seaneh itu? pikir Kiera. Tanpa sadar kepalanya menggeleng lelah. Tangannya melepas kacamata hitam itu lalu meletakkannya di atas meja kereta.
Sekitar beberapa menit berlalu, seseorang yang daritadi memandangi Kiera mulai lelah sebab sejak tadi dijadikan sandaran oleh lelaki gemuk yang sedang tidur di sebelahnya. Mencoba melarikan diri, lelaki itu menghindar dari kepala berat itu. Begitu ada harapan terbebas dari Si mahluk gendut, ia mulai menoleh ke kursi kosong di sebelah Kiera, besar harapannya bisa duduk di sana.
Saat seseorang itu berdiri dan mencoba mendekati kursi di sebelah Kiera, dengan cepat Kiera mengangkat tangan, Kiera menunjukkan telapak tangannya ke depan seolah mengisyaratkan melarang dia duduk di sebelahnya.
Dia terlihat kecewa lalu berbalik badan, tapi ia langsung mematung saat melihat seorang ibu hamil yang sedang duduk di kursinya tadi.
"Bagus sekali!" seseorang itu menoleh ke arah Kiera, berharap gadis itu menolongnya. Ia tersenyum saat beradu tatap dengan Kiera.
Sial! Cantik banget kalau kacamatanya dibuka! batin seseorang itu.
"Boleh aku ...?" Seseorang itu bertanya dengan nada ragu.
Sekilas Kiera melirik ke arah ibu hamil yang duduk di sana, setelah itu Kiera hanya bisa membuang napas lelah lalu melipat tangan kedepan dada seraya membuang muka, rupanya ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Kiera merasa begitu kesal hari ini, entah kenapa seolah kesialan terus mengejarnya. Apa ini karena ulah author? Sudahlah jangan suudzon.
Tadi wartawan gila, lalu dokter ganjen, sekarang duduk sebelahan sama orang aneh yang daritadi lihatin aku. Oh, God! keluh Kiera dalam hati.
Melihat ekpresi pasrah Kiera membuat seseorang itu semringah, tanpa menunggu aba-aba lagi seseorang itu segera duduk di sebelah Kiera.
Lima menit berlalu, seseorang itu menaikkan kamera yang disimpannya dalam ransel.
"Boleh aku ambil gambar kamu?" tanya seseorang itu, sikapnya itu lantas membuat Kiera murka.
Nih, orang gila apa gimana? Dia pikir aku mau difoto sama dia? Cih! Kiera membatin sambil menatap tajam pada seseorang itu.
"Ah, aku lupa!" seseorang itu menepuk dahi. "Aku Devandra, panggil aja Deva. Salam kenal." Ucap seseorang itu yang ternyata bernama Deva. Ia mengulurkan tangan bersiap menerima uluran tangan Kiera.
Bukannya membalas uluran tangan Deva, Kiera malah memutar bola mata seolah lelah dihadapkan situasi seperti ini. Daripada membuang tenaga Kiera lebih memilih membuang muka, ia tidak meladeni.
***
Note:
Jangan lupa baca cerita baru author:I See You
Masih baru banget. Bakal rajin update nih, jadi jangan lupa kasih vote ya buat semangatin author. Makasih banyak man teman.🌼❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...