-Revisi-
"Kamu kenapa? Ada yang-" sosok tak asing itu menundukan kepala, dan langsung tersadar jika dia masih bertelanjang dada, dia adalah Deva, saat ini dia sedang salah tingkah, tanpa sadar ia mundur satu langkah dan bersembunyi di balik pintu.
Bego! Bodoh! Peak! Deva merutuki diri dalam hati. Ia kembali bersuara, "Tunggu, aku pakai baju dulu."
Kiera menggeleng tak percaya, ia bahkan tak berniat untuk berbalik badan meski mendengar hentakan kaki Deva yang berlari menjauh.
Sebenarnya hari ini hari apa?! batin Kiera, entah sudah berapa kali ia mengeluhkan itu.
Maksudku adalah kenapa harus ketemu dia lagi? Jadi kita tetanggaan? Sejak kapan? Aku bahkan nggak pernah lihat dia di sekitar sini, batin Kiera, ia terlalu lelah untuk memikirkan itu. Tanpa harus berpikir lagi akhirnya Kiera memutuskan menuliskan sesuatu di notenya, beberapa kalimat saja lalu merobek kertas itu, tak lupa ia memberikan perekat di bagian belakang kertas, lalu menempelkanya di pintu.
***
Kamu disuruh bayar tagihan listrik, hari terakhir besok dan tolong biasakan bayar tepat waktu!
Deva membaca tulisan rapi itu dengan muka tertekuk, rasanya dia baru menyadari satu hal sekarang selain pemalas ternyata ia juga bodoh.
Tapi tunggu dulu, kenapa dia yang nagih? Biasanya anaknya Bu Asta yang sok kecantikan itu, Deva memutar otak dan...
Ting!
Deva mendapat sebuah pencerahan. Ia lantas berpose seperti membanggakan diri layaknya dukun sakti. Padahal bukan sama sekali."Dia pasti anaknya yang dulu kuliah di China! Ya, pasti!" Deva berujar bangga, "Aku harus ke sana sekarang, pasti dia masih di sana, nggak mungkin kan balik ke China lagi?" dia manggut-manggut sendiri.
***
Deva berjalan sambil bersiul, begitu kakinya mendarat di anak tangga, ia segera dihadapkan oleh teriakan melengking yang sekaligus menyiksa telinga.
"Dasar anak sinting! Gila! Udah tanggal berapa ini nggak bayar!" teriak Bu Asta alias Si pemilik kosan. Suaranya itu bahkan membuat telinga Deva sejenak berdengung. Bukan hanya Deva saja, penghuni kost yang lain pun merasakan hal yang sama namun, tak satu pun dari mereka bersuara karena itu hanya akan membuat suara kejam itu mengoyak telinga mereka lagi.
"Maaf Bu As, kelupaan," Deva cengengesan, ia menggaruk tengkuk sambil berjalan menaiki tangga.
Bu Asta mencibir, "Tiap ditanya jawabnya lupa? Alasan! Cepet bayar!"
Deva bergidik ngeri mendengarnya. Bagi Deva, baik suara maupun ekspresi Bu Asta saat ini sangat menggambarkan sosok malaikat pencabut nyawa yang gemuk dan menyeramkan, seakan tanduk berapi sudah tumbuh dan meruncing di kepala wanita parubaya itu.
Saat langkahnya berhenti di dekat Bu Asta, tak perlu diminta lagi Dava mengeluarkan uang untuk membayar listrik.
"Kamu kan kaya! Uang almarhum bapakmu kan, banyak! Kok bisa kamu selalu telat bayar?!" Bu Asta tak habis pikir, ia masih belum puas mengoceh rupanya.
"Ayah bukan bap-"
"Diem! Sama aja!" Bu Asta memotong.
"Maaf, nggak maksud sengaja kok, Bu As."
"Alesan!" Bu Asta menyemburnya, "kamu itu Dev, memang dasarnya udah pemalas! Malesnya kebangetan! Lihat itu rumah kamu yang dulunya bagus, bersih, terawat, dan yang paling megah di daerah ini sekarang jadi usang, kumuh, jelek, dan tua semenjak ditinggal orangtua kamu. Kamu yang tinggal di situ bukannya ngerawat rumah malah molor aja tiap hari!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...