Mengigau

2.3K 109 0
                                    

-Revisi-

Untuk sepersekian detik Kiera memandangi sendok bubur yang terisi separuh itu sebelum Taris menyuapkan ke mulutnya, membuat Kiera hampir tersedak karena kaget.

"Makanya dimakan biar nggak sakit, biar cepet sembuh, biar cantiknya makin cetar, biar-"

Ucapannya terhenti karena Kiera menunjukkan telapak tangannya di depan wajah Taris pertanda gadis itu harus segera diam untuk Kiera. Dalam hal yang serupa Kiera dan Deva memiliki kemiripan yaitu tak menyukai keributan ataupun suara berisik yang ditimbulkan orang lain.

"Apa?" Taris berujar polos berusaha mengajaknya bicara. "Aku buatin ini biar kamu nggak keracunan sama bubur buatan Deva, lagian bubur buatanku enak kan? Ya dong, soalnya aku sering buatin Ibu bubur kalau perutnya kambuh."

Terdengar ada kebanggaan dalam suara Taris sehingga Kiera memutar bola mata lemah ke arahnya, padahal ia tak memintanya membuatkan bubur. Bukannya ia sudah menolak bubur buatan Deva? Lalu untuk apa ia mempersulit diri dengan membuatkan bubur untuk Kiera? Bukankah sudah jelas Kiera tak ingin makan, atau lebih tepatnya Kiera ingin sendirian? Sudahlah, tak akan bisa Kiera menang dalam hal ini, ia terlalu lemas menanggapi orang-orang di sekitarnya dalam kondisinya sekarang. Dan atas perkataan Taris, Kiera sedikit terusik mendengar itu, karena meski tak menanyakannya pun Taris tetap memberi tahu seakan perkataannya merupakan informasi penting yang harus diketahuinya.

"Enak kan?" Taris berbinar dengan tatapan menunggu, menunggu Kiera mengangguk sambil menatapnya sebagai pertanda Kiera menyukai bubur buatannya.

Kiera tak ingin menjawab, tetapi dalam hati ia membenarkannya. Buburnya memang enak meski hanya dengan lauk telur rebus. Ia yakin tanpa telur pun buburnya tetap enak namun, Kiera tetap tak dapat membohongi diri jika sedang tak enak makan, rasanya ingin sekali memuntahkan isi perutnya karena kondisi badannya yang terasa aneh. Jadi untuk menanggapinya Kiera lebih suka menatapnya datar sembari menelannya susah-susah meski itu hanya makanan lembek berupa bubur.

Taris menatapnya penuh curiga dengan ekspresi dibuat-buat, "Oh iya. Lagi berantem sama Deva kan? Perasaan kalian nggak ada akur-akurnya deh."

Topik yang paling tak disukai Kiera adalah ini, Deva. Ia tak mengerti kenapa dengan mendengar namanya saja Kiera jadi terenyuh sakit. Dan yakin Taris akan terus mengganggunya sampai mendapat jawaban pasti darinya, setelahnya Kiera juga yakin gadis itu akan mengomeli Deva jika tahu alasannya. Tapi Kiera tak membutuhkan itu, ia masih bisa mengatasinya, bersikap seolah dirinya memang sekuat itu padahal dirinya benar-benar rapuh dan tak memiliki siapa pun selain mereka.

Suasana berubah hening dengan udara dingin khas malam hari, sama halnya dengan emosi Kiera yang masih memaksa dirinya untuk bersikap dingin.

"Jawab dong, Ra," raut cemberut terpasang di wajah Taris.

Percuma saja Taris memelas karena tak akan berpengaruh pada Kiera. Itu hanya akan membuatnya semakin tak selera makan saja sepertinya. Lelah dengan perlakuan Taris padanya membuat Kiera enggan menanggapi dan lebih memilih beringsut ke selimut lalu menutup mata. Badannya masih terasa berat dan sakit di setiap bagian tubuhnya, matanya terasa terbakar karena saking panasnya, lebih baik dia menghistirahatkan diri agar merasa baikan.

"Kamu cuma makan sesuap, Ra. Itu cuma dikit, makan lagi ya?"

Kiera menarik selimut hingga menutupi kepala sebagai reaksi tak mau menurutinya, membuat Taris semakin menekuk wajahnya lesu.

"Ku taruh obatnya di sini, buburnya abisin juga biar perutmu nggak panas." Taris berlalu pergi, ia pikir Kiera butuh ruang sendiri untuk sementara.

Di ruang depan Deva mengambar sesuatu dengan kuas favoritnya, jika sedang sendu dia selalu menyalurkannya lewat kanvas dan warna. Setidaknya itulah yang mampu meredakan suasana hatinya.

"Buat apa punya tv, tapi nggak pernah ditonton? Mending jual aja," Lukman berujar sembari mengganti saluran televisi yang memang selalu terlihat buram di layarnya, mungkin karena jarang digunakan atau antenanya bergeser di atas sana.

Deva mendengarnya namun, tak berniat menanggapi.

Peka dengan keadaan sahabatnya yang sedang sendu membuat Lukman sedikit simpati dan beralih mananyai Deva, "Dia marah lagi?"

Deva mendesah panjang meski tanpa menoleh seolah membenarkan ucapan Lukman.

"Sekarang karena apa?" tanyanya lagi.

Deva menoleh ke belakang memasang raut memelas, "Kenapa Ra sensi mulu sih, apa mukaku terlalu ngeselin?"

"Emang mukamu selalu ngeselin," sela Taris kesal ketika sudah berdiri di samping Lukman yang sedang rebahan di sofa. "Hari ini Ra kenapa bisa jutek lagi? Kamu apain dia?"

"Kalau aku tahu, udah ku kasih tahulah kalian dari tadi," Deva menjawab. "Tadi udah baikan, tapi pas ada paket datang terus paketnya diambil sama dia, setelah itu Ra ngunci diri di kamar."

"Paket apa?" ganti Lukman yang menginterogasi.

"Nggak tahu, belum ku lihat isinya. Paketnya juga dipegang sama dia," Deva menjawab.

Taris mengerutkan dahi merasa ada sesuatu yang tak beres, "Yang ngirim siapa?"

Deva angkat bahu pertanda tak tahu.

"Ada yang peka nggak sih?" Taris menatap keduanya serius.

Lukman manaikkan alis, "Peka sama apa?"

Taris mengerang kesal, seperti biasa diantara mereka hanya dia sendiri yang paling peka dalam hal apa pun menyangkut Kiera.

"Gini maksudku, mungkin nggak di luar sana masih ada yang curiga kalau Kiera masih di sini?" Taris berasumsi. "Dan isi paket itu yang udah bikin dia dingin lagi?"

"Nggak ngerti." Lukman tak ambil pusing. Responnya itu langsung dihadiahi jeweran di telinganya oleh Taris.

"Gimana sih, dasar nggak peka!" Taris geregetan. Ia sama sekali tak mengasihani Lukman yang tengah merintih kesakitan.

Sedangkan Deva tampak berpikir, ia sudah bertekad melindungi Kiera, sekarang ia ingin mencari tahu penyebab perubahan emosi Kiera, dan menyelesaikan pekerjaan yang belum dilakukannya yaitu mencari tahu masa lalu seorang Kiera Zee.

"Kalian jadi nginep kan?" Tanya Deva yang langsung ditolak oleh keduanya.

"Aku keluar sama Lukman tadi sembunyi-sembunyi, kalau tengah malam Ibu buka kamar kos dan aku nggak ada di sana pasti bakal kena hukuman. Mana rumahku masih diperbaiki lagi, jadi nggak bisa kemana-mana." Jelas Taris panjang lebar.

Deva mengacak rambutnya menandakan frustasi. Sekarang ia yakin Kiera akan semakin membencinya. Bagaimana tidak? Di saat Kiera sedang kesal padanya, Deva malah harus terus memaksa Kiera. Memaksa makan, minum obat, dan hal lainnya, Deva akan siaga membantu karena tak tega melihat kondisinya yang masih sakit. Sementara Kiera dengan sikap dinginnya selalu tak menginginkan bantuan orang lain meski di saat sedang memerlukan bantuan itu sendiri.

***

Waktu menunjukkan pukul 22.30, Kiera terbangun dari tidurnya dan mendapati Deva sedang tidur di kursi, Deva menyandarkan kepalanya di kasur sambil memegang tangan Kiera. Kiera lapar namun, masih tak selera makan. Ia melirik bubur yang masih utuh tadi, ia yakin itu masih enak.

Saat mencoba duduk kepalanya terasa pening membuatnya mendesis sakit sembari memegang keningnya. Kompres di dahinya hampir jatuh saat ia berusaha duduk, beruntung ia memeganginya atau benda kain itu mengenai Deva sehingga lelaki itu terbangun di saat Kiera tak menginginkannya.

"Ra, aku minta maaf." Deva mengigau. Kiera refleks menoleh padanya, memandang wajah tenang Deva yang terlihat pulas. "Aku salah apa?"

Kontan mimik wajah Kiera berubah kesal. Bahkan dalam mimpi pun Deva tetap tak mengetahui letak kesalahanya, itulah yang terpikirkan oleh gadis itu.

Kiera menarik tangannya perlahan agar lelaki itu tak terbangun atau membuatnya terusik lagi. Berhasil menarik tangannya, Kiera memunggungi Deva berniat turun dari arah lain.

"Ra?" Deva mencekal tangan Kiera hingga membuat gadis itu hampir menjerit kaget.

***

Lanjut? Lanjut.
*Nanya-nanya sendiri, jawabnya juga jawab sendiri. 😅

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang