-Revisi-
Udara dingin menerpa wajah Kiera lembut, terasa menenangkan meski perasaannya berbanding terbalik karena sesak. Dalam satu sisi ia tahu ini memang bukan urusannya, apalagi jika menyangkut masalah keluarga. Tapi di sisi lain, ingin sekali ia meluruskan kesalah pahaman ini. Namun, sekali lagi keterbatasannya membuatnya tak mampu untuk memperbaiki keadaan. Berat rasanya berada dalam situasi rumit dan ketidak tahuan.
"Ra?" panggil Taris di sampingnya. Ia cukup heran rupanya melihat Kiera sedang memejamkan mata di tempat duduknya.
Kiera lantas membuka mata seraya menoleh. Tatapannya terlihat penuh tanya.
"Jangan bilang Lukman kalau aku di sini."
Kiera tak yakin akan mengangguk lagi kali ini. Ia merasa sudah terlalu mendukung Taris untuk menjauh dari keluarganya, lalu sekarang haruskan ia merahasiakan keberadaannya juga?
Gadis itu menunduk guna menulis sesuatu. Sementara Taris dengan sabar menunggu Kiera menulis untuknya.
Setelah selesai, Kiera membalik note itu, menunjukkannya dengan memasang wajah lelah yang begitu ketara.
Kenapa kamu nggak pulang aja? Pasti mereka kuatir sama kamu, harusnya kamu nggak lari dan minta penjelasan dari mereka. Bukannya sibuk mikirin kesalahan mereka. Aku yakin, mereka sayang sama kamu. Tapi mungkin ada alasan kenapa kamu nggak boleh tahu tentang orangtua Nisa.
Taris terdiam setelah membacanya, ia hanya berdiri lalu memasuki tempat latihan dance Kiera tanpa berbalik lagi.
Melihat ekspresi Taris yang seperti itu membuat Kiera otomatis berdiri menyusulnya. Ia mengekor di belakang Taris dan diam saja sambil memperhatikan gadis itu berjalan menuju sofa.
Taris lantas duduk di sana sambil mendongak, "Aku belum siap buat tahu alasannya, ku pikir Nisa saudara kandungku, ternyata selama ini aku cuma dibohongi, dan aku nggak tau apa-apa," Taris berucap dengan nada yang terdengar tenang dan tanpa ekspresi.
Kiera hendak menuliskan sesuatu namun, ditahan Taris.
"Jangan bujuk aku lagi. Ucapanmu nggak akan berpengaruh buat aku. Untuk hari ini aja, please biarin aku sendiri di sini."
Kiera mengehala napas halus, putus asa rasanya menghadapi ini. Lantas ia menulis sesuatu dengan cepat, kali ini dia merobeknya. Dia menaruh kertas kecil itu di meja lalu berlalu pergi setelah menepuk pelan bahu gadis itu.
Selepas kepergian Kiera, Taris membaca tulisan Kiera dalam diam.
Kamu makan aja makanannya. Kalau mau mandi, di belakang ada kamar mandi. Besok aku ke sini lagi. Dan coba pikirin ini baik-baik, kamu masih punya keluarga, sayangi mereka sebelum kamu benar-benar menyesal karena mengabaikan kasih sayang yang masih kamu miliki.
Taris hanya menghela napas panjang sambil memejam, kini ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Ia benar-benar merasa nyaman dalam posisi ketidaktahuan, berharap dengan begitu semuanya tetap seperti sedia kala.
***
"Kamu dari mana? Aku tungguin dari tadi," Deva mendekati Kiera yang sedang berjalan ragu ke arahnya.
Ketika Deva berdiri di depannya, Kiera menunduk guna menyembunyikan wajahnya.
"Kamu nggakpapa kan?" Deva membungkukkan badan, ia berniat melihat wajah Kiera meski tertutup masker. "Apa udah ngantuk?"
Kiera ragu mendongak, tetapi sebuah suara memanggilnya membuat gadis itu tanpa sengaja menengadah dan menoleh ke sumber suara.
Di samping Deva, Lukman menghentikan langkahnya, "Kenapa Nisa telepon aku nanyain Taris?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...