-Revisi-
"Kenapa nggak boleh? Aku cuma ambil foto kamu aja, nggakpapa kok kalau ditutupi masker," Deva meminta.
Deva menyunggingkan senyum, senyum yang mampu membuat siapa saja yang melihat akan terpesona pada wajah tampannya. Tapi sepertinya tidak mempan untuk Kiera, terbukti dari caranya menanggapi hanya menatap Deva dengan sinis, lalu kembali membuang muka.
"Nama kamu siapa? Mau temenan?"
Refleks tangan Kiera mengepal karena mendengar ucapan Deva. Ia kembali menghembuskan napasnya, kali ini lebih terlihat seolah menenangkan diri sendiri. Berharap dirinya tidak akan mencabik habis lelaki ini. Perlahan Kiera mengenakan kacamata hitam dan tudung kepalanya, Kiera berdiri karena hendak beranjak dari tempat itu.
Deva yang melihat Kiera hanya bisa memberikan tatapan bingung sekaligus melongo, dia bahkan lupa untuk menutup mulut tanpa takut ada lalat yang memasukinya. Lagi-lagi dia terpesona.
Sekejap saja Kiera melewati Deva, dia berjalan menuju belakang gerbong kereta api meninggalkan Deva yang masih mematung dengan ketidak sadarannya.
Setelah persekian detik barulah Deva sadar jika sedari tadi tidak mampu untuk sekedar mengetahui namanya, gadis yang menurutnya terlalu misterius dengan wajah cantik yang tertutup masker. Seperti di film-film saja.
"Sial! Bahkan aku nggak bisa jadi temennya!" Ia mengumpat kesal.
Aku harus cari dia, batin Deva.
Dia mulai berdiri. Tapi saat melangkah keluar dari kursi, semua orang berbondong-bondong menutupi jalan, mereka berusaha turun dari kereta api sehingga membuat Deva kembali menarik kakinya tanpa melewati batas kursi agar tak sampai terseret arus. Dia tidak sadar jika kereta baru saja berhenti karena terlalu lama tak sadarkan diri.
"Hilang deh, sial!" Deva mengacak rambutnya. Sekarang ia baru mengakui bahwa dirinya memang payah dalam hal perempuan, bahkan untuk sekedar berkenalan saja ia tak mampu.
***
Deva membuka pintu rumah dengan sedikit memanyunkan wajah tampannya, ia masih kesal akan kegagalannya. Begitu menutup pintu, dia langsung memasuki rumah dengan kaki terseret-seret.
Sampai di ruang tamu ia melempar badannya yang terasa berat ke atas sofa. Matanya menatap langit-langit rumah yang terdapat banyak sarang laba-laba di sana. Ia menggunakan beberapa pakaian kotor yang berada di sofa sebagai bantalan kepala tanpa merasa jijik sedikitpun. Mungkin karena sudah terbiasa. Kemudian saat menjulurkan kaki, Deva menyenggol piring bekas makan beberapa hari yang lalu hingga piring itu terjatuh dan pecah. Sontak saja lelaki itu mengumpat, ia mengerang bersamaan dengan nyaringnya bunyi pecahan piring. Kini ia terpaksa harus membersihkan pecahannya, tetapi begitu berdiri dan mengayunkan kaki, naas ia tersandung dan jatuh diatas lantai yang dipenuhi debu, miris melihatnya. Lantainya sangatlah kotor karena lama tidak di sapu. Sekali lagi ia mengerang, kali ini karena merasakan sakitnya. Sungguh kasihan.
"Bego!" Deva merutuki diri sendiri seraya berdiri. Jemarinya melepas kancing pakaiannya, dengan ogah-ogahan Deva melempar pakaian yang sudah terlepas itu ke atas sofa, mengakibatkan bertambahnya lagi tumpukan pakaian kotor di sana.
Deva mulai menghela napas lelah, kepalanya mendongak ke atas lalu kembali menunduk, "Bunda, Deva kangen." Sekilas ia mengenang kebersamaannya dengan Sang bunda kala beliau masih hidup.
Saat itu ia bahkan tidak seperti ini, Deva masih sering keluar rumah dan bermain dengan teman seusianya saat masih kecil, waktu beranjak dewasa pun Deva sering mengajak teman-temannya untuk bermain ke rumah, tapi melihat keadaanya yang sekarang apalagi keadaan rumah yang mirip kandang kambing membuatnya merasa jijik sendiri dan malu untuk mengundang temannya lagi ke rumahnya. Tapi saat itu bundanya masih memanjakannya, meski begitu terkadang ayahnya selalu mengomeli Deva ketika mengajak beberapa temannya ke rumah, sebab jika sudah begitu Deva selalu lupa waktu dan bermain seharian penuh tanpa ingat waktu mandi dan makan, sungguh ia sangat merindukan hari itu. Sangat.
Tapi inilah Deva yang sekarang, pemalas dan tidak mau bekerja, ia hanya mengandalkan uang peninggalan orangtuanya saja, tetangganya pun tidak mengenalnya begitu pula sebaliknya. Deva juga tidak memiliki akun sosial media sama sekali kecuali hanya satu aplikasi chat, itu pun ia buat karena dulu teman-temannya yang memaksa. Bahkan untuk keluar rumah pun tidak pernah kecuali jika ada urusan yang mendesak seperti tadi. Tadi temannya meminta Deva mengantarkan ke studio rekaman makanya ia keluar rumah. Entahlah, harus disebut mahluk apakah Deva ini.
Dan biasanya ia akan langsung naik taksi saat pulang, tapi entah kenapa tadi Deva lebih memilih naik kereta api, tapi sungguh ia merasa beruntung sebab sempat bertemu dengan Kiera, gadis misterius yang enggan membalas sapaannya.
***
Hari ini hari apa, sih? Nyebelin! Kiera membatin, ia menggantung tas selempangnya ke gantungan di samping lemari.
Ia berbalik menuju nakas yang di sana ada teko, Kiera menuangkan air ke gelas lalu meneguknya separuh, tangannya mencengram gelas putih itu sejenak kala mengingat seseorang yang mengaku bernama Devandra tadi.
Ganteng sih, tapi aneh, sok akrab, batin Kiera. Ia kembali meneguk minumannya hingga habis, setelah itu kembali meletakkan gelas itu ke atas nakas.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar pintu kamarnya di ketuk dengan tak sabaran, berulang kali pula. Menyebalkan sekali untuk kiera yang tidak suka keributan.Tanpa pikir panjang Kiera bergegas menghampiri, dia yakin itu adalah Si pemilik kost. Seperti biasa, di tanggal ini pasti ibu pemarah itu akan datang untuk menagih uang bulanan. Ia beruntung sebab baru saja menerima uang dari beberapa murid yang belajar dance padanya. Ya, selain bernyanyi Kiera juga hobi dance tentunya, ia sangat mahir dalam bidang satu ini sampai menjadikannya sarana pencetak uang untuk dirinya.
Ketika hampir membuka pintu, Kiera sontak terhenti, ia lupa akan sesuatu.
Ah! Masker?!
Secepat kilat Kiera berlari mengambil masker, dan mengenakannya. Dengan langkah lebar ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya perlahan.
"Lama banget keluarnya! Mana uangnya? Cepet bayar!" seketika ia dihadapkan bertubi-tubi semburan darinya. Kiera sampai berekspresi ngeri saat menatap ibu berbadan gemuk di depannya. Hanya satu kata dari Kiera untuk ibu satu ini yaitu galak.
Mendapat perlakuan seperti itu lantas membuat Kiera membungkuk, dan menyatukan tangan, sejenak ia menuliskan sesuatu di notenya.
Saya ambilkan dulu, sebentar.
Hanya itu yang dia tulis, ia membaliknya agar dibaca oleh beliau.
***
God! Udah dibayar, tapi sekarang malah nyuruh ke rumah orang yang bahkan nggak aku kenal! Kiera membatin kesal.
Kiera berjalan menuju alamat di dekat tempat kosan, ia bertekad tidak bertanya kepada orang lain sebab ia tidak pandai dalam hal itu. Apalagi dengan keadaanya yang sekarang yaitu tidak bisa bicara, terkadang itu menyiksanya.
Kiera juga sering berandai-andai jika saja saat itu dia tak bernyanyi dengan terlalu memaksakan diri, mungkin pita suaranya tak akan rusak seperti ini namun, semua telah terjadi. Setidaknya dia masih menyemangati diri karena kini masih berusaha untuk sembuh.
Di sini, kan? Yang rumahnya berpintu kaca dan di depan toko roti? batin Kiera sambil menatap ke arah rumah yang terlihat tak terawat.
Meski risi dengan rumput liar yang mulai memanjang namun, Kiera tetap berjalan menuju pintu kaca itu. Sesaat ia melihat ke sekeliling rumah dengan perasaan bergidik ngeri, menganggap itu rumah hantu yang di dalamnya banyak mahluk menyeramkan di sana. Tapi tangannya tetaplah terangkat untuk menekan tombol bel di samping pintu.
"Bentar!" terdengar sahutan dari dalam, membuatnya berhenti menekan tombol dan menarik tangannya kembali ke samping tubuh.
Cklek!
Pintu terbuka dan menampilkan sosok tak asing di depannya."Kamu?!" Seseorang itu memekik.
Namun, berbeda dengan Kiera, ia otomatis berbalik dan menutup wajah meski sudah tertutup masker. Kali ini dia memang tak mengenakan kacamata sebab sudah berada di daerah tempat tinggalnya.
***
Note:
Jangan lupa baca cerita baru author:I See You
Masih baru banget. Bakal rajin update nih, jadi jangan lupa kasih vote ya buat semangatin author. Makasih banyak man teman.🌼❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...