Lebih Buruk

1.9K 93 0
                                    

-Revisi-

Di sinilah Taris terdiam, ia hanya sendirian di taman rumah sakit. Hanya air mata yang menemani, hanya kesepian yang menyelimuti, dan hanya kekecewaan yang dirasakannya. Ia tak tahu harus berbuat apa karena merasa cukup kecewa. Tadinya dia hendak menemui Lukman, tapi niatnya diurungkan sebab ada banyak orang di sekeliling lelaki itu. Ia tahu baru saja lelaki itu berbaikan dengan saudara kembarnya, Lukas. Daripada menganggu, lebih baik berdiam diri di sini. Mungkin itu akan membuatnya merasa lebih baik dan lebih tenang.

Tanpa diketahui olehnya, Kiera berjalan mendekati. Sepertinya ia ragu jika itu Taris, sebab rasanya tak mungkin gadis seceria Taris akan menangis di taman rumah sakit, sendirian pula.

Di sentuhnya pundak Taris pelan sehingga gadis itu menoleh padanya. Matanya melebar begitu melihat Taris berderai air mata.

Tanpa aba-aba, Taris menghambur dalam pelukannya. Ia menangis terseduh di bahu Kiera.

Di elusnya punggung Taris dengan gerakan teratur agar dia merasa lebih tenang. Sengaja Kiera membiarkannya seperti ini, berharap setelah menangis, Taris akan merasa lebih baik.

Setelah lelah menangis, Taris memundurkan badannya dan menarik Kiera duduk di sampingnya.

"Ra, jangan bilang ini ke Lukman. Aku nggak mau dia kuatir."

Kiera mengangguk kecil, ia menyimak baik-baik ucapan Taris.

"Aku nggak mau pulang ke rumah," ucapan Taris terdengar putus asa.

Kiera merasa aneh mendengarnya, mungkin karena tadi Taris masih bersikap seperti biasanya, dan sekarang gadis itu malah berkata demikian.

Kiera menulis sesuatu dan menunjukkannya.

Kenapa? Mau cerita?

Entah kenapa ia menulis itu, tapi Kiera tak bisa membohongi diri jika berempati padanya. Padahal biasanya ia selalu acuh pada apa pun di sekitarnya, mungkin karena Kiera tertular sikap baik Deva? Entahlah Kiera tak tahu pasti. Tapi ia berharap dengan begitu, Taris tak merasa sendirian dan kesepian, ia tak ingin orang di sekitarnya merasakan apa yang pernah dirasakannya sebelumnya. Karena Kiera sendiri tahu betul bagaimana rasanya ketika sedih dalam kesendirian, sangat menyiksa dalam posisi itu. Sungguh.

"Mungkin nanti, sekarang aku mau ke dalam lihat keadaan Lukas. Lukman nggak kelihatan sedih lagi kan?"

Kiera mengangguk lagi. Ia membenarkan letak kacamata beningnya karena sedikit merosot dari hidungnya. Gadis itu menulis sesuatu untuk Taris.

Lukas baru aja masuk ruang operasi.

Taris membacanya lalu mengangguk samar.

Keduanya beranjak dari sana, mereka menghampiri Deva dan yang lainnya di ruang tunggu.

"Kamu nangis?" tanya Lukman begitu Taris berdiri di depannya, ia menatap Taris lekat, ada kekhawatiran di wajahnya.

Taris terkekeh kecil, "Apa sih? Enggak kok."

"Ra?" panggil Deva, Lukman dan Taris jadi menoleh ke arahnya.

"Ganggu aja." Lukman menarik Taris menjauh darinya. Ia tak ingin diganggu rupanya.

Tanpa rasa malu Deva cengengesan sambil menatap Kiera. Sepertinya ia lupa jika baru saja menyela pembicaraan Lukman dan Taris. "Sarapan bareng ya? Kita ke kantin."

Kiera menatapnya tanpa ekspresi, sebenarnya ini bukan waktu yang tepat karena masih terlalu pagi. Lagipula, Kiera belum lapar. Tapi Deva menyeretnya begitu saja, membuat gadis itu terpaksa mengikuti langkahnya.

Begitu melewati ruangan Dokter Resa, Kiera menarik tangannya. Deva sampai ikut menghentikan langkahnya pula.

"Kenapa?"

Unvoice [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang